Oleh Teguh Priyanto
Sudra!
Jika pendidikan punya kasta, kasta terendah inilah yang pantas disandangkan pada Sekolah Dasar (SD) Filial Ujung Alang I, Kecamatan Kampung Laut, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah.
Sejatinya sekolah di kaki bukit utara Pulau Nusa Kambangan itu tak layak disebut sekolah.
Bangunannya lebih mirip kandang ternak. Lantainya tanah, amat berdebu kala musim kemarau, dan becek ketika musim hujan tiba. Dindingnya anyaman bambu yang sudah lapuk dan rombeng, dengan sejumlah lubang menganga yang cukup untuk laluan unggas bahkan kambing.
Atapnya tak akan pernah mampu untuk menghalau hujan apalagi jika turun deras, karena hanya terdiri dari genteng usang kualitas rendahan, yang telah banyak retak di sana-sini. Tidak pula ada plafon, sehingga ketika badai “yang kerap menghampiri pesisir pantai Cilacap” datang, seluruh yang berteduh dibawahnya pasti akan basah kuyup. Atau jika tak beruntung mereka mungkin akan tertimpa atap itu, karena tiang penyangga bangunan telah lapuk dan reyot.
Tak ada penanda jika bangunan itu sebuah sekolah. Tak ada “plang” nama dengan papan paling serderhanapun, apalagi baliho atau “banner” mencolok seperti banyak dijumpai di sekolah-sekolah unggulan.
Bahkan bangunan tua itu nyaris tenggelam oleh lebatnya hutan bakau dan rerimbunan pohon-pohon sengon dan albiso, yang banyak yang ditanam penduduk seantero Ujung Alang.
Sesungguhnya bangunan SD Filial Ujung Alang I memang bukan sekolah, tapi balai warga yang dipinjamkan kepada Wartati (47), relawan yang telah mengabdi pada pendidikan terpencil di Kampung Laut selama lebih dari 22 tahun.
Tati, demikian sapaan akrab Wartati, mendapat mandat mendirikan SD Filial itu pada 2002 lalu, setelah dinilai sukses membuat sekolah sejenis sembilan tahun lalu dan lebih dari dua dasawarsa membimbing pendidikan anak-anak usia dini (PAUD) di Ujung Alang.
Tati memang relawan dalam pengertian yang sesungguhnya, karena selama karier mengajarnya ia tak pernah mendapat upah layak. Sebagai guru wiyata bakti. Honornya saat ini hanya Rp200 ribu, itupun kadang tak datang setiap bulan.
“Hanya cukup untuk ongkos ojek dua minggu,” kata Tati, saat penulis bertandang ke sekolahnya, yang dari jantung kota Cilacap harus ditempuh dengan perahu “compreng” melalui dermaga Sleko selama lebih dua jam dan masih harus dilanjutkan berperahu “jungkung” bermesin tempel sekitar satu jam.
Rumah Tati juga tak bisa dibilang dekat, sekitar tujuh kilometer dari SD Filial Ujung Alang I. Saat kemarau Tati relatif mudah menjangkau sekolah. Dengan menumpang ojek, ia hanya butuh waktu tak lebih dari setengah jam. Ongkosnya juga hanya Rp7.000 sekali jalan.
Namun saat musim penghujan datang dan jalan tanah liat berubah menjadi “bubur tanah” nan licin dan ojek tak mampu menembusnya, Tati harus berjalan kaki selama lebih dari satu setengah jam. Terkadang Tati memilih untuk melintasi jalur alternatif memutar, yang waktu tempuhnya sekitar sejam.
Jalur alternatif yang dimaksud Tati tak lain adalah anak-anak sungai di laguna Segara Anakan. Jika melintas jalur ini, ia harus merogoh kocek lebih dalam untuk menyewa jungkung, Rp20 ribu sekali jalan.
Meski lebih dari 20 tahun menjalani profesi sebagai guru wiyata bakti, Tati tak lagi banyak berharap dapat diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS). Ia pasrah menjadi guru wiyata bakti hingga akhir pengabdiannya.
Apalagi kini, ijasah Sekolah Menengah Pertanian Atas (SMPA)-nya semakin tak laku meski hanya sebagai prasyarat daftar tunggu masuk CPNS.
Nasib Tati memang lebih buruk dari Bu Mus (Muslimah Hafsari), guru sekolah Muhammadiyah di Pulau Belitung, yang digambarkan Andrea Hirata dalam novel memoarnya, Tetralogi “Laskar Pelangi”.
Di akhir kisah, penulis “best seller” itu melukiskan, meski SD Muhamadiyah di Belitung, tempat si Ikal (nama panggilan Andrea Hirata dalam memoar itu) belajar akhirnya bubar, Bu Mus masih berkesempatan mengecap nikmatnya menjadi PNS dan kini ia mengajar di sekolah negeri yang cukup memadai.
Tapi Wartati tidak, ia tetap menjadi guru bantu di saat salah satu dari dua anak perempuannya telah memberinya cucu.
“Sudah terlalu tua, Mas. Saya hanya berharap anak saya, Nela yang lulusan D2 PGSD bisa lebih beruntung, jadi PNS,” katanya.
Nela, yang memiliki nama lengkap Nela Vita Setyorini (22) kini juga menjadi guru wiyata bakti di SD Filial Ujung Alang 3, sekolah yang juga pernah dirintis ibunya. Nela telah lebih dari tiga tahun jadi guru bantu, tapi juga belum diangkat.
Papan tulis “2 in 1″
Balai warga yang dipinjam untuk kegiatan SD Filial Ujung Alang I, bukan tempat yang luas. Hanya berukuran 4X8 meter persegi. Padahal sekolah itu memiliki delapan siswa kelas 1, delapan siswa kelas 2 dan tujuh siswa kelas 3.
Oleh Sugeng (35), orang yang turut membantu Tati mengasuh siswa sekolah tersebut, ruang balai warga disekat menjadi dua. Satu untuk Kelas 1 dan 2 dan lainnya untuk kelas 3.
“Sekatnya ya pakai papan tulis ini,” ujar Sugeng, pria yang sempat mengecap bangku Sekolah Teknik (setara SMP) tapi tak tamat itu.
Papan tulis itu merupakan papan tulis dua sisi. Jadi selain berfungsi sebagai penyekat, kedua sisi papan tulis bisa digunakan untuk menulis secara bersamaan oleh kelas 3 di satu sisi dan kelas 1 dan 2 di sisi yang lain. Sementara Tati dan Sugeng secara bergantian mengajar tiga kelas itu sekaligus, tepat di “episentrum” ruangan itu.
Sejak dua tahun lalu, SD Filial Ujung Alang menerima Bantuan Operasional Sekolah (BOS), bantuan pendidikan dari pemerintah pusat yang diakui Tati sangat membantu kegiatan belajar di sekolahnya. Dengan BOS, anak-anak di sekolah itu bisa melengkapi diri dengan alat tulis sederhana. Sebelumnya alat tulis menjadi barang langka dan mewah bagi sekolah ini.
“Tak tahu apa jadinya jika jika BOS tahun ini dicabut. Karena tahun ini belum ada kabar, BOS bakal turun lagi atau tidak,” kata Tati.
Jangan tanya tentang prasarana lain di Sekolah Filial Ujung Alang I. Tidak ada laboratorium komputer, perpustakaan, atau sekedar alat peraga di sekolah itu. Rak buku di pojok ruang pun hanya berisi beberapa lembar buku kumal.
“Ada beberapa buku sumbangan, tapi saya simpan di rumah. Karena jika disimpan di sini takut basah dan kebocoran. Jika ingin baca, anak-anaklah yang pergi ke rumah saya,” kata Sugeng, yang rumahnya memang tak jauh dari sekolah.
Cara belajar SD Filial Ujung Alang sangatlah sederhana. Bu Tati atau Pak Sugeng menyalin bahan bacaan ke papan tulis, lalu anak-anak menyalin kembali di buku tulis mereka nan kumal.
“Raden Werkudara punika satria ing Jodipati” (Bima adalah ksatria dari Jodipati). Demikian antara lain kalimat yang disalin anak-anak kelas 2 SD Filial Ujung Alang I, saat mereka menerima pelajaran bahasa Jawa.
Tapi toh, Tati dan Sugeng sangat bersuka cita tatkala pada akhir tahun ini hampir seluruh anak didiknya meneruskan sekolah ke SD inti, SD Ujung Alang I di Motehan, yang jaraknya sekitar setengah jam perjalanan dengan perahu jungkung.
“Mereka anak-anak yang sangat bersemangat. Buktinya anak-anak sini nilai UASBN bagus-bagus, yang tertinggi 33,? ujar Tati bangga. Jika dua tahun lalu hanya 10 persen anak SD Filial Ujung Alang yang melanjutkan ke SMP, setelah pemerintah membuka SMP Negeri di Kampung Laut, berdekatan dengan dermaga Ujung Alang, 90 persen anak-anak itu melanjutkan sekolah.
Kelak mereka juga bakal melanjutkan ke SMA Negeri di Kleces, ibukota kecamatan Kampung Laut.
Teguh Priyanto, wartawan Antara
sumber : AAMeried COUPLE
02 Januari 2010
Pendidikan yang Kian Mengasta (Bagian 1)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar