02 Januari 2010

Pendidikan yang Kian Mengasta (Bagian 2)

Oleh Teguh Priyanto

Madania, Progressive Indonesian School, Bogor. Sekolah nan luas dan asri itu dilengkapi dua kolam renang “semi olympics”, dua lapangan “mini soccer”, “hall” dengan empat lapangan bulu tangkis, lapangan basket dan tennis “indoor”, dua studio musik kedap suara, dan saung lengkap dengan perlengkapan ensemble tradisional dari Jawa dan Sunda.
Siswanya tak perlu berdesak-desakan dalam kelas nan sumpek, karena ruang kelasnya yang berukuran 8X8 meter persegi, seluruhnya berpendingin udara, berkarpet dan hanya perlu diisi oleh 24 siswa.

Kebersihannya selalu terjaga, karena setiap “remah” tanah yang tertinggal dari jejak sepatu siswa di lantai lobi atau koridor kelas akan segera dilap hingga mengilap oleh belasan “office boy” (OB). OB juga akan dengan sigap mengeringkan lantai, tatkala seorang siswa menumpahkan bekal makanan atau minumannya.
Perpustakaannya mengoleksi ribuan buku berkualitas, sebagian diimpor langsung dari penerbit luar negeri yang berkelas internasional. Untuk mencari referensi, siswa sekolah itu tak perlu melihat berjibun katalog manual yang memusingkan. Cukup ketik kata kunci, seketika mesin katalog digital akan menampilkan berbagai judul buku, lengkap dengan nama pengarang, penerbit, dan ilustrasi pendek tentang isi buku itu.
Di sekolah itu juga terdapat tiga laboratorium komputer yang terhubung dengan akses internet berkecepatan tinggi. Seluruh gedung sekolah merupakan area “hotspot” Wifi. Siswa yang ber-laptop tinggal mengklik “internet explorer” atau “mozilla firefox”, langsung terhubung dengan koneksi internet dunia maya.
Belum cukup. Demi menjamin mutu kependidikannya, sekolah ini merekrut guru-guru terbaik, berkemampuan bahasa asing “excellent” dan dengan skill mengajar mumpuni.
Gurunya tak melulu dari IKIP atau jurusan keguruan dan ilmu pendidikan, tapi juga dari lulusan pascasarjana universitas terkemuka dalam dan luar negeri. Sebelum terjun ke kelas mereka ditraining secara intensif, demi menjamin kualitas pengajaran di kelas.
Komunitas sekolah, menyebut sekolah mereka sebagai “sekolah berwawasan internasional”, sebelum akhirnya direktur utama sekolah ini “atas saran konsultan marketing nomor wahid, Hermawan Kartadjaja” menggantinya dengan “tag line” baru “Progressive Indonesian School” (PIS).
Menurut sang begawan marketing itu, sekolah ini harus melakukan “positioning” baru, karena sebutan “sekolah berwawasan internasional” (SBI) yang disematkan 10 tahun lalu terasa kian hambar, setelah banyak sekolah serupa menempelkan atribut “internasional” di belakang nama sekolah mereka.
Bahkan terakhir Departemen Pendidikan Nasional juga “ikut-ikutan” membuat istilah sekolah berstandar internasional (SBI), sangat mirip dengan “tag line” sekolah yang berlokasi di Perumahan Telaga Kahuripan Bogor itu.
Saat peluncuran logo baru Madania beberapa waktu lalu, Manajemen Representative Sekolah Madania, Ardina Utomo memastikan anak-anak yang bersekolah di Sekolah Madania, diasah otaknya, kreatitasnya, nuraninya, dan spiritualitasnya, seperti sesanti mereka, “mind, heart, spirit”.
Mereka juga digembleng kepekaan dan tanggungjawabnya terhadap lingkungan sekitar melalui program “Community Service”. Program ini bertujuan untuk mendekatkan siswa-siswi Madania, dengan realitas kehidupan yang sebenarnya.
“Anak-anak kami ajak untuk lebih peduli dengan sesama. Mereka misalnya, harus magang di panti jompo, membuat proyek perpustakaan rakyat, dan menjadi relawan saat terjadi bencana,” kata koordinator “Community Service” Sekolah Madania, Yohanna Siahaan.
“Community Service” merupakan menu wajib yang harus ditempuh siswa kelas 10-12 (setingkat SMA) sebelum mereka lulus. Bagi Yohanna “Community Service” merupakan antitesis, yang dapat mencegah anak-anak “terutama SMA” terjerembab dalam krisis moral dan apatisme terhadap sesama.
Madania adalah juga sekolah yang terafiliasi dengan Global Assesment Certification (GAC), organisasi internasional penjamin mutu yang menjadi jembatan penghubung siswa sekolah itu dengan komunitas pendidikan internasional.
Dengan mengantongi sertifikat GAC, siswa Madania seolah memiliki tiket “tol” untuk masuk ke perguruan tinggi terkemuka di luar negeri. Anak yang lulus program GAC tak perlu lagi mengikuti kelas persiapan (preparation) jika hendak sekolah di luar negeri.
Lalu siapa saja anak beruntung, yang dapat menikmati suasana pembelajaran dan mutu pendidikan sebaik itu?
Adalah setiap anak yang orangtuanya “rela” menginvestasikan dananya sebesar Rp 45 juta untuk membayar Sumbangan Sarana Pendidikan (SSP) setiap enam tahun dan menebus Sumbangan Penyelenggaraan Pendidikan (SPP) Rp1,5 juta perbulan persiswa.
Uang sebanyak itu tidak termasuk untuk membayar katering yang disediakan sekolah, ekstrakurikuler yang gurunya didatangkan dari luar serta antarjemput siswa.
“Dengan segala `tetek bengek’-nya, total biaya satu anak, ya, sekitar Rp2,5 juta lah perbulan,” kata salah satu orangtua siswa.
Jadi tinggal mengalikan, berapa biaya yang dibutuhkan jika ada orangtua yang menyekolahkan dua atau tiga anak di sekolah itu!
Bumi dan Langit
Sekolah Madania dan Sekolah Dasar Filial Ujung Alang I adalah dua sekolah laksana bumi dan langit, meskipun keduanya berpijak pada tanah yang sama; Indonesia. Bahkan keduanya pun masih berada dalam pulau yang sama; Jawa.
Potret dua sekolah itu adalah bukti bahwa amanat konstitusi tentang pemerataan pendidikan bagi seluruh warga negara hanya galak di “kertas”, tapi “ompong” dalam pelaksanaanya.
Di Indonesia, sekolah bermutu baik seperti Sekolah Madania memang tidak bisa dibilang sedikit. Sebutlah, Sekolah Bina Nusantara, Sekolah Highscope, Sekolah Pelita Harapan, Sekolah Tiara Bangsa, Sekolah Al Izhar, Sekolah Lab Schools, Sekolah Bogor Raya, Sekolah Global Jaya, Sekolah Pembangunan Jaya, Sekolah Fajar Hidayah, Sekolah Dian Harapan, Gandhi Memorial School atau Sekolah Dwiwarna.
Belum lagi sekolah internasional yang juga memberi kesempatan belajar bagi anak-anak Indonesia, seperti Jakarta International School (JIS), Singapore International School, Germany International School (GIS) dan British International School.
Sekolah-sekolah itu merupakan sekolah yang terbilang lebih dari memadai dalam hal prasarana, pengajar maupun mutu kependidikannya. Bahkan tak kalah dengan sekolah-sekolah di luar negeri.
Sayangnya, sekolah-sekolah itu hanya bisa digapai oleh pemilik “kasta” berpunya. Kasta puncak dalam piramida ekonomi masyarakat Indonesia, yang “dihuni” tak lebih dari 10 persen dari jumlah penduduk.
Undang-Undang No 20 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang mengamanatkan agar 20 persen anggaran negara digunakan untuk menyokong pendidikan sejauh ini juga tak banyak membantu meredam “kastanisasi” pendidikan di Tanah Air.
Padahal seperti dituturkan Pengamat Pendidikan Darmaningtyas, semestinya negara tak hanya bertanggungjawab menyelenggarakan pendidikan untuk seluruh masyarakat (“education for all), tetapi lebih dari itu menyelenggarakan pendidikan bermutu untuk semua (“the best education for all”).

Teguh Priyanto, wartawan Antara

Bookmark and Share

Tidak ada komentar:

Related Posts with Thumbnails