31 Desember 2009

HARTA-HARTA ILLEGAL

Sudah menjadi rahasia umum, bahwa Indonesia termasuk negara paling korup di dunia. Hasil riset yang dilakukan oleh berbagai lembaga juga menunjukkan bahwa tingkat korupsi di negeri yang penduduknya mayoritas muslim ini termasuk yang paling tinggi di dunia. Indonesia disebut sebagai negara dengan perekonomian paling korup di Asia. Indikasi tersebut berasal dari survei yang dilakukan oleh Lembaga Konsultasi Risiko Politik dan Ekonomi (PERC) yang dilansir oleh agen berita Perancis AFP.1 Global Corruption Report juga melansir sekitar US$ 40 miliar (sekitar Rp 400 triliun) digunakan dunia usaha untuk menyuap pejabat setiap tahunnya. Pemberian suap itu bertujuan untuk memudahkan bisnis dan bahkan ada yang bermotif politik, misalnya untuk mempertahankan kedudukan atau jabatan. Suap sepertinya sudah menjadi “tradisi” dalam berbagai macam urusan apapun di negeri ini.2 Bahkan koran Singapura, The Strait Time, sekali waktu pernah menjuluki Indonesia sebagai “the envelope country” karena segala hal bisa dibeli entah itu lisensi, tender, wartawan, hakim, jaksa, polisi, petugas pajak atau yang lain dengan amplop.3
Mantan Ketua Bappenas Kwik Kian Gie menyebut lebih dari Rp 300 triliun dana-baik dari penggelapan pajak, kebocoran APBN maupun penggelapan hasil sumberdaya alam - menguap masuk ke kantong para koruptor. Selain itu, korupsi yang biasanya diiringi dengan kolusi juga membuat keputusan yang diambil oleh pejabat negara sering merugikan rakyat. Heboh privatisasi sejumlah BUMN, lahirnya perundang-undangan aneh (semacam UU Energi, UU SDA, UU Migas, UU Kelistrikan), adanya impor gula, beras dan sebagainya dituding banyak pihak sebagai kebijakan yang sangat kolutif karena di belakangnya ada praktik korupsi.
Kasus korupsi yang paling menghebohkan di tahun 2009 tentu saja adalah skandal Bank Century. Seandainya saja pengucuran dana talangan (bail-out) Bank Century sebesar Rp 6,7 Triliun itu adalah keputusan yang benar, yang didasarkan pada pertimbangan yang benar, serta dilakukan untuk tujuan yang benar, mestinya tidak perlu terjadi kehebohan seperti yang sekarang ini tengah berlangsung. Fakta bahwa saat ini di DPR telah dibentuk Pansus untuk menyelidiki skandal Bank Century disertai demo dan pernyataan para tokoh di mana-mana dengan tuntutan serupa bahkan tuntutan mundur atau non-aktif kepada Wapres Budiono dan Menkeu Sri Mulyani, pasti menunjukkan ada sesuatu yang tidak beres dari keputusan pemberian dana talangan tersebut. Bahkan mantan wapres Jusuf Kalla, saat masih menjabat telah mengatakan bahwa "Saya tidak setuju dengan pandangan itu. Krisis itu menghantam banyak orang. Masak ada badai cuma satu rumah yang kena. Tidak. Bila hanya Bank Century yang kena, itu bukan krisis. Yang bermasalah adalah Bank Century dan itu bukan karena krisis melainkan karena uang bank itu dirampok pemiliknya sendiri. Ini perampokan!" Kalla berteriak dengan keras. "Lapor ke polisi," perintah Kalla kepada Sri Mulyani dan Boediono. "Sangat jelas, ini perampokan. Jangan berikan dana talangan."4
Penyelesaian permasalahan korupsi, suap-menyuap dan maraknya mafia peradilan sudah dilakukan, berbagai program juga sudah dibuat termasuk membentuk komisi. Akan tetapi karena penyelesaiannya tidak menyentuh aspek fundamentalnya maka korupsi, suap-menyuap dan maraknya mafia peradilan kejadiannya berulang, bahkan modusnya semakin bevariasi dan malah dilakukan bejamaah.

Penyelesaian dengan Cara Islam
Sebagai sebuah sistem hidup yang paripurna, yang berasal dari sang Pencipta yang Mahaseperuna, Allah ‘Azza wa Jalla, Islam memiliki sejumlah cara yang sangat gamblang untuk menanggulangi berbagai masalah manusia, khususnya dalam upaya mencegah terjadinya kasus korupsi, suap-menyuap dan maraknya mafia peradilan. Di antaranya adalah:
1. Sistem penggajian yang layak.
Sebagai manusia biasa, para pejabat/birokrat tentu memerlukan uang untuk mencukupi kebutuhan diri dan keluarganya. Untuk itu, agar bisa bekerja dengan tenang dan tak tergoda untuk berbuat curang, mereka harus diberi gaji dan fasilitas yang layak. Rasul saw. bersabda yang artinya :
“Siapa yang bekerja untukku dalam keadaan tidak beristri, hendaklah menikah; atau tidak memiliki pelayan, hendaklah mengambil pelayan; atau tidak mempunyai rumah, hendaklah mengambil rumah; atau tidak mempunyai tunggangan (kendaraan), hendaknya mengambil kendaraan. Siapa saja yang mengambil selain itu, dia curang atau pencuri !”. (HR Abu Dawud)
2. Larangan suap dan menerima hadiah.
Tentang suap, Rasulullah saw. bersabda:
Allah melaknat penyuap dan penerima suap dalam hukum (pemerintahan) (HR Ahmad, Abu Dawud dan al-Tirmidzi)
Tentang larangan menerima hadiah, Rasul saw. juga bersabda:
Tidak pantas seorang petugas yang kami utus datang dan berkata, “Ini untuk Anda, sementara ini adalah hadiah yang diberikan untuk saya.” Mengapa ia tidak duduk-duduk saja di rumah bapak dan ibunya, lalu memperhatikan, apakah ia akan mendapatkan hadiah atau tidak?! (HR al-Bukhari, Muslim, Ahmad dan Abu Dawud)
3. Penghitungan kekayaan pejabat.
Agar tidak berbuat curang, Khalifah Umar ra. selalu menghitung kekayaan para pejabatnya di awal dan di akhir jabatannya. Jika terdapat kenaikan tidak wajar, Khalifah Umar ra. akan memaksa mereka untuk menyerahkan kelebihan itu kepada negara (Lihat: Thabaqât Ibn Sa’ad, Târîkh al-Khulafâ’ as-Suyuthi).
4. Teladan dari pemimpin.
Dengan keteladan pemimpin, tindakan atas penyimpangan akan terdeteksi secara dini. Penyidikan dan penindakan juga tidak sulit dilakukan. Khalifah Umar ra., misalnya, pernah menyita sendiri seekor unta gemuk milik putranya, Abdullah bin Umar ra. Pasalnya, unta tersebut kedapatan ada bersama beberapa unta lain yang digembalakan di padang rumput milik negara. Khalifah Umar ra. menilai hal tersebut sebagai penyalahgunaan fasilitas negara.
5. Hukuman setimpal.
Pada galibnya orang akan takut menerima risiko yang akan mencelakakan dirinya. Hukuman dalam Islam memang berfungsi sebagai zawâjir (pencegah). Dengan hukuman setimpal atas koruptor, misalnya, pejabat akan berpikir seribu kali untuk melakukan korupsi. Dalam hukum Islam, korupsi merupakan kejahatan yang pelakunya wajib dikenai hukuman ta’zîr. Bentuknya bisa berupa hukuman tasyhîr (dipermalukan di depan umum), hukuman kurungan. Tentu juga disertai dengan penyitaan hasil korupsi oleh negara. Khalifah Umar bin Abdul Aziz, misalnya, pernah menetapkan sanksi hukuman cambuk dan penahanan dalam waktu lama terhadap koruptor (Ibn Abi Syaibah, Mushannaf Ibn Abi Syaibah, V/528; Mushannaf Abd ar-Razaq, X/209). Adapun Khalifah Umar bin al-Khaththab ra. Pernah menyita seluruh harta pejabatnya yang dicurigai sebagai hasil korupsi.
6. Pengawasan masyarakat.
Masyarakat jelas turut berperan dalam menyuburkan atau menghilangkan korupsi. Jika di dalam masyarakat tumbuh budaya anti korupsi, insya Allah masyarakat akan berperan efektif dalam mengawasi setiap tindakan para birokrat sehingga korupsi bisa dicegah.
7. Pengendalian diri dengan iman yang teguh.
Korupsi atau tidak, pada akhirnya memang berpulang pada kekuatan iman dan kontrol diri para birokrat itu sendiri. Dengan iman yang teguh, ia akan merasa selalu diawasi Allah SWT dan selalu takut untuk melakukan penyelewengan yang akan membawanya pada azab neraka.
Semua langkah dan cara di atas memang hanya mungkin diterapkan dalam sistem Islam, mustahil bisa dilaksanakan dalam sistem sekular yang bobrok ini. Selain karena ia merupakan kewajiban dari Allah SWT atas umat Islam, juga karena hanya syariah Islamlah—yang diterapkan dalam institusi Khilafah—yang menjadi sumber kemaslahatan dan rahmat bagi kaum Muslim.5
Lantas Bagaimana status harta pejabat yang diperoleh dengan cara haram? Bolehkah harta tersebut dimanfaatkan?
Harta pada dasarnya tidak bisa dikategorikan halal atau haram dengan sendirinya. Kategori itu baru ada karena faktor cara yang digunakan untuk mengumpulkan harta (kayfiyyah yuhazu fîhâ al-mâl). Jika caranya dibenarkan oleh syariah, misalnya, cara-cara yang lazim digunakan untuk mendapatkan harta (asbâb at-tamalluk) yang telah ditetapkan oleh syariah—seperti bekerja (menghidupkan tanah mati, mengeluarkan isi perut bumi, berburu, jasa broker, mudhârabah, musâqât dan jasa kontrak), waris, kebutuhan akan harta karena terdesak, pemberian negara, harta yang diperoleh tanpa kompensasi—maka status harta tersebut halal. Tentu, itu karena seseorang mengumpulkan harta tersebut dengan cara yang dibenarkan syariah. Namun, jika caranya tidak ditetapkan oleh syariah, misalnya, syariah menyatakan sebaliknya, maka saat itu status harta tersebut haram. Dengan kata lain, itu karena orang tersebut mengumpulkan harta dengan cara yang tidak dibenarkan oleh syariah.
Karena itu, harta yang dimiliki dengan salah satu sebab kepemilikan (sabab at-tamalluk) yang sah menurut syariah, atau dimiliki melalui proses pengelolaan (kayfiyyah at-tasharruf) yang syar‘i, yang memang dibenarkan oleh syariah untuk mengembangkan harta, maka dalam kedua kategori ini, harta tersebut statusnya halal. Dengan kata lain, status pengumpulannya sah menurut ketentuan syariah. Namun, jika menyalahi kedua cara tersebut, yaitu sebab kepemilikan ataupengelolaan kepemilikan, maka status harta tersebut haram. Sebab, cara pengumpulannya tidak syar‘i, baik telah dinyatakan terlarang oleh Pembuat syariah (Asy-Syâri‘), seperti mencuri, ataupun yang dinyatakan bertentangan, seperti Perseroan Terbatas (PT) dan Koperasi. Semuanya itu merupakan cara yang diharamkan serta termasuk cara pengumpulan harta yang tidak dibenarkan syariah. Harta yang dimiliki dengan cara tersebut juga merupakan harta yang diharamkan.
Inilah ketentuan umum tentang status hukum harta kekayaan seseorang, yang halal dan haramnya ditentukan oleh cara (kayfiyyah wa asbâb) yang digunakan untuk mengumpulkan dan mengembangkannya.
Khusus mengenai kekayaan para penguasa, pejabat dan pengawai yang diperoleh dengan cara haram, secara umum disebut mâl al-ghulûl, baik yang diperoleh dari kekayaan negara maupun rakyat. Harta haram tersebut bisa dikategorikan berdasarkan cara (proses) pengumpulannya, antara lain, sebagai berikut:
1. Risywah (suap): Setiap harta yang diberikan kepada kepala negara, kepala daerah, hakim, jaksa atau pegawai negeri biasa agar urusan yang harus mereka selesaikan dapat diselesaikan, yang semestinya untuk itu tidak harus membayar. Pendapatan penguasa, pejabat dan pengawai negeri dari jalan seperti ini hukumnya haram. Suap bisa terjadi sebagai kompensasi untuk: (1) memenuhi urusan tertentu, yang harus dipenuhi oleh penguasa, pejabat atau pengawai negeri, yang seharusnya tanpa kompensasi; (2) tidak memenuhi urusan tertentu, yang harus dipenuhi oleh penguasa, pejabat atau pengawai negeri; (3) melakukan aktivitas yang menghalangi negara untuk melaksanakan urusan tertentu.
2. Hadiah dan hibah: Setiap harta yang diberikan kepada kepala negara, kepala daerah, hakim, jaksa atau pegawai negeri biasa sebagai hadiah atau hibah, dalam rangka memenuhi urusan tertentu jika tiba saatnya. Status hadiah dan hibah ini pun sama dengan suap. Hukumnya haram, sebagaimana larangan Nabi saw. terhadap Ibn al-Utabiyyah, dalam hadis al-Bukhari dan Muslim dari Abi Hamid as-Sa‘idi.
3. Harta yang diperoleh karena faktor kedudukan dan kekuasaan dengan cara paksa: Harta yang dikuasai oleh para penguasa, pejabat, kroni dan kerabat mereka, termasuk pengawai negeri biasa dengan memanfaatkan kedudukan dan kekuasaannya, baik bersumber dari harta dan tanah negara, maupun harta dan tanah rakyat. Ini juga termasuk harta haram berdasarkan hadis al-Bukhari dan Muslim.
4. Komisi (Samsarah wa ‘Amulah): Harta yang dikumpulkan oleh para penguasa, pejabat, kroni dan kerabat mereka, termasuk pengawai negeri biasa sebagai komisi dari perusahaan asing, nasional atau individu, sebagai kompensasi dari kesepakatan atau transaksi antara negara dengan mereka. Ini juga termasuk harta haram berdasarkan hadis Muadz bin Jabal.6
5. Korupsi (Ikhtilâs): Harta negara yang dikorupsi oleh para penguasa, pejabat dan pengawai negeri biasa, yang berada di bawah kontrol dan pengelolaan mereka untuk melakukan aktivitas atau menjalankan proyek tertentu. Ini juga termasuk harta haram.
6. Harta haram lainnya: Seperti harta yang diperoleh dari hasil riba, judi atau investasi yang diharamkan.
Dalam hal ini ada empat pendapat. Pertama: pendapat Imam asy-Syafii, yang menyatakan bahwa harta haram tersebut sama sekali tidak boleh dimanfaatkan. Menurutnya, harta tersebut hanya boleh disimpan dan dibiarkan. Kedua: pendapat Fudhail bin Iyadh, yang menyatakan, bahwa harta tersebut tidak boleh dimanfaatkan, dan harus dibuang ke laut atau dimusnahkan. Ketiga: pendapat Ibn Rajab al-Hanbali, yang menyatakan, bahwa harta tersebut hanya boleh disedekahkan. Keempat: pendapat Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani dan Syaikh Abd al-Qadim Zallum, yang menyatakan bahwa harta tersebut boleh dimanfaatkan, bergantung caranya, apakah dibenarkan oleh syariah atau tidak. Alasannya, karena harta tersebut tidaklah haram atau halal dengan sendirinya, dan terus-menerus. Namun, yang menyebabkan haram atau halal adalah cara memanfaatkan dan mengumpulkannya.
Menurut saya, pendapat Imam asy-Syafii memang paling aman. Namun, ini bertentangan dengan fakta harta yang hukum asalnya untuk dimanfaatkan. Karena itu, pendapat ini pun, menurut hemat saya, kurang tepat. Yang lebih ekstrem lagi adalah pendapat al-Fudhail, karena bukan saja harta haram tersebut tidak boleh dimanfaatkan, melainkan harus dibuang ke laut dan dimusnahkan. Menurut Ibn Rajab, pandangan ini justru menyalahi larangan Nabi saw. untuk tidak menyia-nyiakan dan merusak harta benda. Pendapat Ibn Rajab sendiri, yang menyatakan bahwa harta haram tersebut boleh dimanfaatkan untuk sedekah, menurut saya, juga merupakan pendapat yang lemah. Sebab, sedekah bukan merupakan bentuk tasharruf(pemanfaatan harta) yang dibenarkan oleh syariah kepada tuan harta tersebut.
Karena itu, pendapat yang paling kuat adalah pendapat Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani dan Syaikh Abd al-Qadim Zallum, bahwa harta tersebut boleh dimanfaatkan, tetapi harus dengan cara pemanfaatan yang dibenarkan oleh syariah. Dalam hal ini, syariah telah menetapkan ketentuan sebagai berikut:
1- Suap (risywah), hadiah, hibah, komisi (samsarah wa ‘amulah) dan korupsi (ikhtilâs): Harta-harta ini harus diserahkan oleh tuannya—sengaja saya tidak sebut mereka sebagai pemilik, karena memang mereka bukan pemiliknya, dan harta tersebut juga bukan hak milik mereka—kepada Baitul Mal negara Khilafah, atau disita oleh negara Khilafah untuk dimasukkan ke Baitul Mal. Setelah itu, status harta tersebut telah menjadi harta kekayaan negara, dan Khalifah berhak menyalurkan kepada siapapun warga negara yang memang berhak untuk mendapatkannya. Pada saat itu, harta tersebut statusnya berubah menjadi halal bagi siapapun warga negara yang mendapatkannya. Sebab, pemberian (santunan) negara merupakan cara mendapatkan harta yang dibenarkan oleh syariah.
2- Harta yang diperoleh karena faktor kedudukan dan kekuasaan, yang diperoleh dengan cara-cara pemaksaan, serta harta haram lainnya. Dalam hal ini, harus dilihat terlebih dulu: Jika harta tersebut diketahui pemiliknya maka harus dikembalikan kepada pemiliknya. Namun, jika pemiliknya tidak diketahui maka harta tersebut harus disita dan diserahkan kepada Baitul Mal negara Khilafah. Setelah itu, otoritas pemanfaatannya menjadi hak dan otoritas Khalifah. Siapapun warga negara yang mendapatkanya sebagai pemberian (santunan) negara, maka harta tersebut pun halal baginya.
Inilah ketentuan syariah, yang terkait dengan pemanfaatan (tasharruf) harta haram para penguasa dan pejabat negara, serta pengawai. Semuanya itu akan bisa direalisasikan di tangan Khalifah yang melaksanakan syariah Islam.7 []Abdullah Jamil

Catatan Kaki:
1. http://www.tempointeraktif.com/hg/politik/2009/04/09/brk,20090409-169387,id.html
2. http://korupsi.vivanews.com/news/read/95226-dana_untuk_suap_pejabat_capai_40_miliar_dolar
3. http://suarapembaca.detik.com/read/2009/11/19/090035/1244550/471/quo-vadis-peradilan-hukum-indonesia
4. http://www.eramuslim.com/dialog/cerita-jusuf-kalla-tentang-bank-century.htm
5. http://mediakata.blogdetik.com/2009/11/17/cara-islam-membabat-mafia-hukum/comment-page-1/
6. http://www.pengusahamuslim.com/fatwa-perdagangan/nasehat-untuk-pedagang-dan-pengusaha/159-prinsip-prinsip-bisnis-rasulullah.html
7. Majalah Al Wai’e, edisi Maret 2008

Abdullah Jamil, aktivis Hizbut Tahrir Cilacap

Bookmark and Share

Tidak ada komentar:

Related Posts with Thumbnails