22 Desember 2009

Ada Apa di Balik Ucapan Terima Kasih BI kepada Gerakan Koin Untuk Prita dan Diedarkannya Uang kertas Rp 2000?

Bank Indonesia (BI) mengucapkan terima kasih kepada masyarakat yang telah mengumpulkan 'Koin untuk Prita'. Pasalnya selama ini, Bank Sentral merasa kesulitan untuk mengumpulkan kembali uang logam yang dicetaknya.

"Ada sisi terima kasih kepada masyarakat karena uang logam ini kan uang yang missing in action," ujar Deputi Direktur Pengedaran Uang BI, Yopie Alimudin saat dihubungi detikFinance , Minggu (20/12/2009).

Yopie memaparkan, selama ini jika BI mencetak uang kertas maka uang tersebut dapat kembali ke Bank sentral, sementara kalau uang logam, jika sudah beredar di masyarakat maka uang tersebut sulit untuk kembali ke BI.

"Dengan adanya gerakan koin untuk Prita kami senang karena uang logam yang kami cetak bisa kembali. Harusnya ada banyak gerakan-gerakan seperti ini biar uang logam bisa kembali ke kami karena biaya cetak uang logam itu mahal," jelasnya.

Ia mengatakan, terkumpulnya uang koin sebanyak Rp 650 juta tidak mengganggu peredaran uang logam di masyarakat. Pasalnya, setiap tahun cetak uang logam hingga triliunan keping.

"Sebenarnya dari sisi nilai Rp 650 juta tersebut tidaklah besar, namun ini kan sumbangan dari masyarakat, jadi koin-koin ini begitu bernilai," kata dia.
Sementara itu beberapa waktu lalu Bank Indonesia telah menerbitkan uang kertas pecahan Rp 2000,-. Ada apa dibalik ucapan terima kasih atas gerakan koin untuk Prita dengan diterbitkannya pecahan uang Rp 2000,- ini?
Memang sejak Maret 2007, Bank Indonesia berencana menerbitkan uang kertas (UK) baru, pecahan Rp 2000,- dan Rp 20.000,- lalu menarik uang kertas Rp 1000,- bergambar Pattimura untuk digantikan dengan koin baru Rp 1.000,- yang bahan metalnya lebih murah dari koin Rp 1.000,- seri Kelapa Sawit (1993 – 2000). Lalu apa arti perubahan ini?
Ya, tentu saja, dengan terbitnya pecahan Rp 2000, berarti pemangkasan harta atau aset kita dalam mata uang rupiah, menjadi separuh dari daya belinya semula, yang disebut inflasi rupiah! Anda yang tadinya cukup nyaman dengan penghasilan, katakanlah Rp 2 juta/bulan, kini dengan adanya pemangkasan tadi, anda harus menambah penghasilan dua kali lipatnya! Artinya penghasilan anda harus naik menjadi Rp 4 juta atau sekurangnya Rp 3 juta / bulan bila ingin tetap nyaman seperti hari sebelumnya.
Lalu bagaimana dengan rakyat kebanyakan yang penghasilannya kurang dari Rp 1 juta sebulan ? Ya, semakin blangsak
Berdasarkan sejarah, ketika era Soeharto dulu, uang kertas tertinggi sejak tahun 1968-1991 adalah Rp 10.000,-. Lalu dengan alasan defisit APBN, diedarkanlah uang lembaran Rp 20.000,- seri Cengkeh/Cenderawasih, tahun 1992. Karena nominal “aneh” ini sukses beredar, maka tak lama kemudian muncul nominal lebih tinggi lagi yaitu Rp 50.000,- bergambar Pak Harto (1993). Dan tidaklah mustahil, bila uang kertas Rp 2.000,- baru ini sukses beredar, maka Bank Indonesia akan menerbitkan uang kertas dengan nominal baru lainnya, misalnya: Rp 200.000,-; Rp 500.000,-, bahkan Rp 1 juta!
Sebab hal itu memang lazim dilakukan oleh Bank Sentral di negara berkembang. Karena ciri khas mata uang negara maju, nominal angkanya hanya tiga digit saja, seperti USA $100, Arab Saudi 200 riyal, Eropa 500 euro, Inggris 100 poundsterling; kecuali Jepang dan Korea Selatan dengan 10.000 yen dan 10.000 won, sebagai sisa sebuah trauma ekonomi pasca Perang Dunia II.
Dengan ditariknya pecahan Rp 1.000,- maka otomatis uang receh terkecil adalah Rp 500,-. Sedangkan koin pecahan Rp 100,- dan Rp 200,- akan lenyap dengan sendirinya, rusak atau dicuekin. Hal ini lazim terjadi pasca terbitnya uang baru, ketika pecahan Rp 1,- dan Rp 2,- lenyap pada tahun 1975, sepuluh tahun kemudian Rp 5,- dan Rp 10,- lenyap di tahun 1985, lalu Rp 25,- dan Rp 50,- lenyap di tahun 1995. Kini pada 2009 ini pecahan Rp 100,- dan Rp 200,- sudah kehilangan daya belinya. Rakyat dieksploitasi untuk memacu kegiatan ekonominya, dan dipaksa merelakan hilangnya sebagian jerih payah mereka.
Perhatikan akibatnya. Bila tadinya sebutir telur ayam negeri seharga Rp 10,-/butir di tahun 1975, lalu naik menjadi Rp 100,-/butir di tahun 1985, maka pemegang uang rupiah telah kehilangan asetnya 1 digit dari Rp 10,- ke Rp 100,-. Artinya si pemegang uang kertas harus mencari sepuluh kali lipat lebih banyak lagi lembaran rupiah agar bisa membeli telur yang sama. Bisa jadi suatu hari nanti harga sebutir telur ayam negeri harus dibayar dengan lembaran Rp 10.000,-/butir, tinggal menunggu waktu saja.
Untuk mengakali inflasi ini, Bank Indonesia cukup menambah angka nol pada uang kertas baru. Inilah riba Zero Sum Game! Sampai kapan permainan riba ini akan berakhir? Rakyat yang kalah gesit dalam mengimbangi permainan ini pasti semakin terpuruk kondisinya.

diolah dari detikfinance.com dan swaramuslim.com

Bookmark and Share

Tidak ada komentar:

Related Posts with Thumbnails