Oleh : Abu Inas*)
Abstraksi
Satu-dua bulan belakangan ini banyak diperbincangkan baik di media massa maupun masyarakat tentang peristiwa mundurnya menteri keuangan Sri Mulyani karena “dilamar” oleh president director World Bank Robert Zoellick. Persoalannya, proses “transfer pejabat” tersebut sangat kental dengan suasana politis dimana Sri Mulyani dalam posisi sebagai pejabat yang harus bertanggung jawab atas kemelut bail out Bank Century. Hal itu berdasar atas keputusan rapat pleno DPR atas hasil kerja panja hak angket Bank Century. Dalam hal keputusan politik di parlemen, apalagi berkaitan dengan pejabat yang bermasalah dalam ranah hukum, mestinya lembaga yang katanya representasi dari rakyat tersebut wajib menjegal proses “transfer” seorang Sri Mulyani ke Word Bank. Juga peranan pemerintah (presiden) dalam rangka penegakan Good and Clean Goverment haruslah menjadi garda terdepan dalam penyelesaian kemelut Bank Century. Namun apa hendak dikata, SBY yang dalam hal ini adalah atasan Sri Mulyani justru mendukung proses transfer tersebut. Sehingga salah satu pengamat ekonomi mengatakan :
Sejarah & Fakta World Bank
• Menjajah kembali Indonesia secara ekonomi/politik.
• Menguasai sumber-sumber daya alam Indonesia melalui korporasi globalnya.
• Membangkrutkan ekonomi negara yang kaya sumber daya alam
2. Kerugian dalam bidang politik
Kalau kita telaah lebih mendalam ada beberapa hal yang menjadikan utang Luar negeri menjadi bathil.
Rasulullah Saw bersabda:
*) Aktifis Hizbut Tahrir Cilacap
”Ini exit strategy Bank Dunia dan Pemerintah SBY untuk Sri Mulyani, biar mantan ketua KSSK dan Menteri Keuangan ini ‘salah tanpa ketok asor’ (salah tanpa terlihat rendah) dalam kasus Century,” kata Direktur Eksekutif Econit, Hendri Saparini, di Jakarta, Rabu (5/5).
Banyak masyarakat yang berpandangan bahwa pindahnya Sri Mulyani ke Word Bank merupakan kewajaran atas prestasi Sri Mulyani yang telah berhasil menjaga negeri ini dari terpaan krisis global pada tahun 2008 silam. Bahkan dianggap karena kehebatan Sri Mulyani tersebut sehingga pantas menduduki jabatan bergengsi di World Bank sebagai managing director yang membawahi tiga wilayah yaitu Amerika Latin dan Karibia, Asia Pasifik, dan Afrika Utara. Menurut Zoellick, dalam situs World Bank, Sri Mulyani merupakan Menteri Keuangan yang luar biasa. Walau diboikot oleh sekelompok legislator terkait skandal Bank Century, beliau, menurut Zoellick, mampu menuntun kebijakan ekonomi Indonesia sebagai salah satu negara terbesar di Asia Tenggara. Pujian seorang Robert Zoellick harus dicermati baik dari sudut kepentingan lembaga yang dipimpinnya, maupun latar belakang Zoellick yang juga merupakan pendukung gerakan Zionis. Bagi kalangan peminat teori konspirasi tentu akan bertanya-tanya “ada apa dengan ini semua” ?
Kita mungkin tidak akan meributkan lagi siapa Sri Mulyani, yang merupakan bagian dari lingkaran Mafia Berkeley, yang berideologi ekonomi kapitalis neoliberalis. Sebagian besar pendukungnya menganggap Sri Mulyanilah yang mampu menyelamatkan bangsa ini dari krisis ekonomi global. Sebuah keyakinan syirik apabila Sri Mulyani ansich dianggap sebagai penyelamat, karena mereka yang berideologi kapitalis liberalis tentu tidak akan melihat persoalan Allah dalam setiap langkah mereka.
Dari sudut pandang jabatan yang di sandang, Sri Mulyani menjabat managing director yang merupakan posisi kedua tertinggi setelah presiden direktur Bank Dunia. Sri Mulyani akan mendapatkan gaji tahunan lebih dari US$347.000 atau sekitar Rp 3,1 miliar atau sekitar Rp 260 juta per bulan. Posisi inilah yang membuat orang memandang sebagai jabatan bergengsi. Benarkah demikian?
Seorang pengamat ekonomi Ichsanuddin Noorsy mengatakan, jabatan sebagai Managing Director di Bank Dunia bukanlah jabatan yang prestisius, sebab jabatan managing director di bawah chief economist, direktur umum dan direktur evaluasi. “Itu jabatan biasa-basa aja di Bank Dunia.”
Apa sebenarnya arti menjadi managing director? Menjadi managing director, ketimbang sebagaimana yang sering digambarkan sebagai “orang kedua di World Bank”, sebenarnya memiliki pengaruh yang hanya beda tipis dengan pegawai teknis yang menangani proyek - atau biasa disebut the management.
Sejarah & Fakta World Bank
Dalam Konferensi Moneter dan Keuangan Perserikatan Bangsa-Bangsa di Bretoon Woods-Amerika Serikat yang diadakan antara tanggal 1 Juli 1944 sampai 22 Juli 1944 telah dicapai apa yang dinamakan “Persetujuan Bretoon Woods“. Persetujuan in ditandatangani oleh 44 negara, menetapkan dibentuknya 2 badan keuangan internasional, yakni Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund atau IMF) dan Bank Internasional untuk Rekonstruksi dan Pembangunan (International Bank For Reconstruction and Development atau IBRD). IBRD menjadi salah satu lembaga yang membentuk Bank Dunia (Word Bank atau WB).
Tujuan pokok dari adanya dana World Bank adalah stabilisasi kurs penukaran mata uang negara anggota, perluasan perdagangan internasional, penurunan tarif bea-bea, penghapusan pembatasan-pembatasan secara berangsur (cikal bakal free trade/pasar bebas).
Indonesia didorong oleh keinginan yang besar untuk menyatakan kesediaannya mengadakan kerjasama internasional, pada tanggal 24 Juli 1950, Indonesia mengajukan permintaan untuk menjadi anggota dari Dana dan Bank tersebut. Setelah 3 tahun yakni pada pertengahan 1953, akhirnya Indonesia diterima sebagai anggota dari kedua Badan itu, keanggotaan yang mana kemudian disahkan dengan Undang-undang No. 5 Tahun 1954 tertanggal 13 Januari 1954.
Akan tetapi pengalaman Indonesia sejak masuk menjadi anggota sampai saat tahun 1965 (kurang lebih 12 tahun) tidak membawa manfaat yang banyak, bahkan merugikan bagi kepentingan bangsa dan negara dalam mewujudkan cita-citanya. Oleh karena itu Bung Karno menarik Indonesia dari IMF dan IBRD ini melalui UU 1/1966 pada tanggal 14 Februari 1966.
Setelah pergantian kekuasaan ke rezim Soeharto, muncullah Tap MPRS RI Nomor XII/MPRS/1966 tentang Penegasan Kembali Landasan Kebijaksanaan Politik Luar Negeri Republik Indonesia yang membuka hubungan yang luas dengan Amerika cs. Ditambah pada Juli 1966, keluarlah Tap MPRS RI Nomor XXIII/MPRS/1966 tentang Pembaharuan Kebidjaksanaan Landasan Ekonomi, Keuangan dan Pembangunan yang memungkinkan lembaga dan korporasi asing mendapat akses yang tertentu dengan kuantitas yang besar. Melalui TAP MPRS tersebut, maka belum satu tahun terbitnya UU 1/1966 tentang keluarnya Indonesia dari lembaga IMF dan World Bank, pada November 1966 terbit UU 8/1966 yang menganulir UU 1/1966.
Melalui Supersemar-lah IMF, World Bank, Freeport, Exxon, Caltex, Total, Halliburton, Bechtell, Toyota dan korporasi asing lain menguasai sumber-sumber kekayaan alam strategis dari hutan, minyak, bauksit, tembaga hingga emas.
Terbitnya UU 8/1966 (IMF dan World Bank) dan UU 1/1968 (direvisi UU 6/1968 ), menunjukkan Indonesia membuka diri terhadap kekuatan asing baik dari sisi modal maupun pelaku. Kembalinya Indonesia menjadi anggota IMF pada tahun November 1966 membuat negara-negara Barat “berbaik hati”. Agenda utama negara-negara donor tersebut bukan hanya semata untuk menarik Indonesia keluar dari komunisme, namun ada satu yang paling mendasar yakni berusaha menjajah kembali secara ekonomi-politik.
Jadi, secara garis besar tujuan hutang dari lembaga keuangan multilateral untuk Indonesia pada saat itu untuk menjebak Indonesia dalam lingkaran utang (debt trap) dengan maksud agar:
• Indonesia bisa lepas dari pengaruh komunisme Moskwa dan Peking (Perang Ideologi/Dingin)
• Menjajah kembali Indonesia secara ekonomi/politik.
• Menguasai sumber-sumber daya alam Indonesia melalui korporasi globalnya.
• Membangkrutkan ekonomi negara yang kaya sumber daya alam
Agar terlihat berhasil, mereka memberikan utang yang sangat besar sehingga perusahaan mereka seperti Bechtel, Halliburton mendapat laba yang tinggi. Terjadinya proyek-proyek lalu dilaporkan melalui angka-angka pertumbuhan GDP (PDB), meskipun proyek tersebut hanya memberi manfaaat besar pada segelintir orang (konglomerat).
Prosedur Pencairan Hutang
Sebelum pinjaman tersebut dicairkan, lembaga donor terlebih dahulu membuat rencana strategis pembangunan yang isinya adalah rencana pembangunan yang komprehensif lengkap dengan tujuan dan hal yang ingin dicapai. Rencana tersebut didiskusikan kedua belah pihak antara lembaga donor dengan pemerintah negara yang bersangkutan.
Lembaga donor akan memberikan bantuan (assistance) berbentuk loan atau grant yang nantinya akan ditetapkan sebagai komitmen APBN. Biasanya grant diberikan untuk membantu persiapan project loan yang akan diberikan dalam bentuk bantuan konsultan. Tentu saja, konsultan yang ditunjuk (hampir pasti) adalah konsultan asing. Selanjutnya, akan dibahas persiapan proyek, evaluasi penilaian kelayakan, hingga negosiasi hutang. Ada kecenderungan dimana staf lembaga donor “memaksakan” agar loan tersebut bisa diwujudkan kendati kesiapan maupun kelayakannya tidak memenuhi persyaratan. Akibatnya, ketika loan agreement ditandatangani, perhitungan biaya pinjaman pun dimulai.
Inilah yang menyebabkan pinjaman tidak terkelola dengan baik ketika memasuki tahap implementasi. Jelas, penggunaannya menjadi mubazir dan pemerintah menanggung beban biaya, bunga, dan hutang pokok yang begitu tinggi. Akan tetapi, laporan dari konsultan selalu dinyatakan baik (karena untuk itulah mereka dibayar) walaupun penyelesaian proyek secara fisik tidak memuaskan.
Biasanya, lembaga donor menyaratkan adanya suatu policy matrix yang harus dipenuhi pemerintah seperti misalnya melalui penerbitan UU atau PP yang mendukung. Lembaga donor kemudian akan “memberikan” opsi-opsi khusus yang disebut letter of intent (LoI), policy matrix, dan sebagainya. Sebagai contoh, privatisasi yang terjadi pada tahun 1999 sebagai salah satu bentuk “opsi” IMF. Tentu saja, masih banyak lagi contoh-contoh buruk dari dampak pinjaman yang sebenarnya tidak perlu dan tidak terkelola dengan baik.
Apabila hal semacam ini berlangsung terus menerus tanpa ada perbaikan dan peningkatan terhadap kesejahteraan rakyat, akan membuat keturunan kita kelak harus membayar sewa hanya untuk tinggal di tanah airnya sendiri.
Profesor Joseph Stiglitz, mantan Ketua Ekonom World Bank, dan mantan Ketua Penasehat Bill Clinton, mengakui di publik “Empat Langkah Strategi” World Bank untuk memperbudak negara demi keuntungan bankir.
Langkah Satu : Privatisasi. Pemimpin nasional akan ditawarkan 10% komisi untuk menjual aset-aset nasional. Uang akan disimpan dengan aman di rekening mereka di Swiss.
Langkah Dua : Liberisasi Pasar Modal. Stiglitz menyebutnya siklus uang panas. Dana dari luar negeri harus dibiarkan bebas masuk untuk berspekulasi di real estate dan mata uang. Saat keadaan tampak menjanjikan, uang ditarik keluar untuk menciptakan kekacauan ekonomi.
Negara bersangkutan kemudian akan meminta bantuan dari IMF dan IMF kemudian mensyaratkan untuk menaikkan suku bunga bank antara 30% sampai 80%. Ini terjadi di Indonesia, Brazil, dan juga negara-negara Asia dan Latin lainnya. Suku bunga tinggi ini menyebabkan kemiskinan bangsa, menurunkan nilai properti, menghancurkan produksi industri dan mengeringkan tabungan nasional.
Langkah Tiga : Penentuan Harga Pasar. Harga makanan, air, dan gas dinaikkan yang menyebabkan keresahan sosial yang berujung ke kerusuhan. Ini dikenal dengan istilah “kerusuhan IMF”. Kerusuhan akan menyebabkan pelarian modal dan kebangkrutan pemerintah. Ini menguntungkan korporasi luar negeri karena aset-aset negara tersebut sekarang bisa dibeli dengan harga amat murah.
Langkah Empat : Perdagangan Bebas. Ini adalah tahap di mana korporasi internasional akan memasuki pasar Asia, Latin Amerika, dan Afrika pada saat mereka sendiri tetap mengenakan tarif masuk bagi produk agrikultur negara dunia ketiga. Mereka mengenakan harga yang sangat tinggi untuk obat bermerek dan menyebabkan tingkat kematian dan penyakit yang sangat tinggi.
Hal ini juga diungkapkan ekonom Rizal Ramli (2009), ”Lembaga-lembaga keuangan internasional, seperti Bank Dunia, IMF, ADB, dan sebagainya dalam memberikan pinjaman, biasanya memesan dan menuntut UU ataupun peraturan pemerintah negara yang menerima pinjaman, tidak hanya dalam bidang ekonomi, tetapi juga di bidang sosial. Misalnya, pinjaman sebesar 300 juta dolar AS dari ADB yang ditukar dengan UU Privatisasi BUMN, sejalan dengan kebijakan Neoliberal. UU Migas ditukar dengan pinjaman 400 juta dolar AS dari Bank Dunia.”
Cara kerja Bank Dunia (dan lembaga-lembaga donor lainnya) dalam menyeret Indonesia (dan negara-negara berkembang lain) ke dalam jebakan hutang, diceritakan secara detil oleh John Perkins dalam bukunya, “Economic Hit Men”. Perkins adalah mantan konsultan keuangan yang bekerja pada perusahaan bernama Chas T. Main, yaitu perusahaan konsultan teknik. Perusahaan ini memberikan konsultasi pembangunan proyek-proyek insfrastruktur di negara-negara berkembang yang dananya berasal dari hutang kepada Bank Dunia, IMF, dll.
Mengenai pekerjaannya itu, Perkins (2004: 13-16) menulis, “…saya mempunyai dua tujuan penting. Pertama, saya harus membenarkan (justify) kredit dari dunia internasional yang sangat besar jumlahnya, yang akan disalurkan melalui Main dan perusahaan-perusahaan Amerika lainnya (seperti Bechtel, Halliburton, Stone & Webster) melalui proyek-proyek engineering dan konstruksi raksasa. Kedua, saya harus bekerja untuk membangkrutkan negara-negara yang menerima pinjaman raksasa tersebut (tentunya setelah mereka membayar Main dan kontraktor Amerika lainnya), sehingga mereka untuk selamanya akan dicengkeram oleh para kreditornya, dan dengan demikian negara-negara penerima utang itu akan menjadi target yang mudah ketika kita memerlukan yang kita kehendaki seperti pangkalan-pangkalan militer, suaranya di PBB, atau akses pada minyak dan sumber daya alam lainnya.”
Dalam wawancaranya dengan Democracy Now! Perkins mengatakan, “Pekerjaan utama saya adalah membuat kesepakatan (deal-making) dalam pemberian hutang kepada negara-negara lain, hutang yang sangat besar, jauh lebih besar daripada kemampuan mereka untuk membayarnya. Salah satu syarat dari hutang itu adalah—contohnya, hutang 1 milyar dolar untuk negara seperti Indonesia atau Ekuador—negara ini harus memberikan 90% dari hutang itu kepada perusahaan AS untuk membangun infrastruktur, misalnya perusahaan Halliburton atau Bechtel. Ini adalah perusahaan-perusahaan besar. Perusahaan ini kemudian akan membangun jaringan listrik, pelabuhan, atau jalan tol, dan ini hanya akan melayani segelintir keluarga kaya di negara-negara itu. Orang-orang miskin di sana akan terjebak dalam hutang yang luar biasa yang tidak mungkin bisa mereka bayar.”
Anggoro (2008), peneliti dari Institute of Global Justice, menulis, kerugian yang diderita Indonesia karena menerima pinjaman dari Bank Dunia adalah sebagai berikut.
1. Kerugian dalam bidang ekonomi
• Indonesia kehilangan hasil dari pengilangan minyak dan penambangan mineral (karena diberikan untuk membayar hutang dan karena proses pengilangan dan penambangan itu dilakukan oleh perusahaan-perusahaan transnational partner Bank Dunia)
• Jebakan hutang yang semakin membesar, karena mayoritas hutang diberikan dengan konsesi pembebasan pajak bagi perusahaan-perusahaan AS dan negara donor lainnya.
• Hutang yang diberikan akhirnya kembali dinikmati negara donor karena Indonesia harus membayar “biaya konsultasi” kepada para pakar asing, yang sebenarnya bisa dilakukan oleh para ahli Indonesia sendiri.
• Hutang juga dipakai untuk membiayai penelitian-penelitian yang tidak bermanfaat bagi Indonesia melalui kerjasama-kerjasama dengan lembaga penelitian dan universitas-universitas.
• Bahkan, sebagian hutang dipakai untuk membangun infrastuktur demi kepentingan perusahaan-perusahaan asing, seperti membangun fasilitas pengeboran di ladang minyak Caltex atau Exxon Mobil. Pembangunan infrastruktur itu dilakukan bukan di bawah kontrol pemerintah Indonesia, tetapi langsung dilakukan oleh Caltex dan Exxon.
2. Kerugian dalam bidang politik
Keterikatan pada hutang membuat pemerintah menjadi sangat bergantung kepada Bank Dunia dan mempengaruhi keputusan-keputusan politik yang dibuat pemerintah. Pemerintah harus berkali-kali membuat reformasi hukum yang sesuai dengan kepentingan Bank Dunia.
Itulah kenyataan pahit terhadap sebuah negeri yang bagaikan zamrud khatulistiwa, yang menanam tongkatpun menjadi tanaman. Namun karena jeratan hutang yang penuh tipu daya, sehingga harus menggadaikan sumber-sumber daya alam untuk dikeruk sampai habis.
Pandangan Hukum Islam terhadap Utang Luar Negeri
Kalau kita telaah lebih mendalam ada beberapa hal yang menjadikan utang Luar negeri menjadi bathil.
Pertama Utang luar negeri tidak dapat dilepaskan dari bunga (riba). Padahal Islam dengan tegas telah mengharamkan riba itu. Riba adalah dosa besar yang wajib dijauhi oleh kaum muslimin dengan sejauh-jauihnya. Allah SWT berfirman :
وأحل الله البيع وحرم الربا
Dan Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba…” (Qs. al-Baqarah [2]: 275).
Rasulullah Saw bersabda:
الربا ثلثة وسبعون بابا وأيسرها مثل أن يكح الرجل أمه
Riba itu mempunyai 73 macam dosa. Sedangkan (dosa) yang paling ringan (dari macam-macam riba tersebut) adalah seperti seseorang yang menikahi (menzinai) ibu kandungnya sendiri…” [HR. Ibnu Majah, hadits No.2275; dan al-Hakim, Jilid II halaman 37; dari Ibnu Mas'ud, dengan sanad yang shahih].
Kedua, terdapat unsur Riba Qaradl, yaitu adanya pinjam meminjam uang dari seseorang kepada seseorang dengan syarat ada kelebihan atau keuntungan yang harus diberikan oleh peminjam kepada pemberi pinjaman. Riba semacam ini dilarang di dalam Islam berdasarkan hadits-hadits berikut ini;
Imam Bukhari meriwayatkan sebuah hadits dari Abu Burdah bin Musa; ia berkata, “Suatu ketika, aku mengunjungi Madinah. Lalu aku berjumpa dengan Abdullah bin Salam. Lantas orang ini berkata kepadaku: ‘Sesungguhnya engkau berada di suatu tempat yang di sana praktek riba telah merajalela. Apabila engkau memberikan pinjaman kepada seseorang lalu ia memberikan hadiah kepadamu berupa rumput ker¬ing, gandum atau makanan ternak, maka janganlah diterima. Sebab, pemberian tersebut adalah riba”. [HR. Imam Bukhari]
Juga, Imam Bukhari dalam “Kitab Tarikh”nya, meriwayatkan sebuah Hadits dari Anas ra bahwa Rasulullah SAW telah bersabda, “Bila ada yang memberikan pinjaman (uang maupun barang), maka janganlah ia menerima hadiah (dari yang meminjamkannya)”.[HR. Imam Bukhari]
Hadits di atas menunjukkan bahwa peminjam tidak boleh memberikan hadiah kepada pemberi pinjaman dalam bentuk apapun, lebih-lebih lagi jika si peminjam menetapkan adanya tambahan atas pinjamannya. Tentunya ini lebih dilarang lagi.
Ketiga utang luar negeri menjadi sarana (wasilah) timbulnya berbagai kemudharatan, seperti terus berlangsungnya kemiskinan, bertambahnya harga-harga kebutuhan pokok dan BBM, dan sebagainya. Semua jenis sarana atau perantaraan yang dapat membawa kemudharatan (dharar) —padahal keberadaannya telah diharamkan— adalah haram. Kaidah syara’ menetapkan:
الوسيلة إلى الحرام محرمة
Segala perantaraan yang membawa kepada yang haram, maka ia diharamkan
Keempat, bantuan luar negeri telah membuat negara-negara kapitalis yang kafir dapat mendominasi, mengeksploitasi, dan menguasai kaum muslimin. Ini haram dan tidak boleh terjadi. Allah SWT berfirman:
ولن يجعل الله للكافرين على المؤمنين سبيلا
"Dan sekali-kali Allah tidak akan menjadikan jalan bagi orang-orang kafir untuk menguasai kaum mu`minin.” (Qs. an-Nisaa` [4]: 141).
Hukum Syara tentang Utang Luar Negeri
Utang yang terkait dengan individu hukumnya mubah, untuk itu setiap individu boleh berutang kepada siapa saja yang dikehendaki, berapa yang diinginkan baik kepada sesama rakyat maupun kepada orang asing. seperti yang diungkapkan dari hadist :
Dari Rafi’ berkata, Nabi saw meminjam lembu muda, kemudian Nabi saw menerima unta yang bagus, lalu beliau menyuruhku melunasi utang lembu mudanya kepada orang itu. Aku berkata “Aku tidak mendapati pada unta itu selain unta yang ke empat kakinya bagus-bagus. Beliau bersabda berikan saja ia kepadanya, sebab sebaik-baik manusia adalah mereka yang paling baik ketika melunasi utangnnya.
Hanya saja, apabila utang atau bantuan-bantuan tersebut membawa bahaya maka utang tersebut diharamkan. Hal ini mengacu kepada kaidah :
Apabila terjadi bahaya (kerusakan) akibat bagian diantaranya satuan-satuan yang mubah, maka satuan itu saja yang dilarang.
Adapun berutangnya negara, maka hal itu seharusnya tidak perlu dilakukan, kecuali untuk perkara-perkara yang urgen dan jika ditangguhkan dikhawatirkan terjadi kerusakan atau kebinasaan, maka ketika itu negara dapat berutang, kemudian orang-orang ditarik pajak dipakai untuk melunasinya. Atau kalau memungkinkan digunakan dari pendapatan negara yang lain. Status negara berutang itu mubah dalam satu keadaan saja, yaitu apabila di baitul mal tidak ada harta, dan kepentingan yang mengharuskan negara hendak berutang adalah termasuk perkara yang menjadi tanggung jawab kaum muslimin, dan apabila tertunda/ditunda dapat menimbulkan kerusakan. Inilah dibolehkannya negara berutang, sedangkan untuk kepentingan lainnya mutlak negara tidak boleh berutang.
Untuk proyek infrastruktur, tidak termasuk perkara yang menjadi tanggung jawab kaum muslimin, namun termasuk tanggung jawab baitul mal, yaitu termasuk tanggung jawab negara. Oleh karena itu negara tidak boleh berutang demi untuk kepentingan pembangunan proyek baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri.
Sedangkan Untuk pengelolaan dan penanaman modal asing diseluruh negara tidak dibolehkan termasuk larangan memberikan monopoli kepada pihak asing. Larangan seluruh kegiatan tersebut adalah karena aktivitas tersebut terkait langsung atau dapat menghantarkan pada perbuatan yang haram. Baik itu penanaman modal asing melalui bursa saham adalah haram sebab kegiatan dibursa saham adalah haram. Ataupun utang untuk investasi pembangunan. Karena pengelolaan modal dengan jalan utang dari pihak asing juga dilarang sebab terkait dengan aktivitas riba yang diharamkan.
Dengan demikian, utang luar negeri dengan segala bentuknya harus ditolak. Kita tidak lagi berpikir bisakah kita keluar dari jeratan utang atau tidak.
Yang penting dipikirkan justru harus ada upaya riil untuk menghentikan utang luar negeri yang eksploitatif itu.
Pertama, kesadaran akan bahaya utang luar negeri, bahwa utang yang dikucurkan negara-negara kapitalis akan berujung pada kesengsaraan. Selama ini, salah satu penghambat besar untuk keluar dari jerat utang adalah pemahaman yang salah tentang utang luar negeri. Utang luar negeri dianggap sebagai sumber pendapatan, dan oleh karenanya dimasukkan dalam pos pendapatan Negara. Kucuran utang dianggap sebagai bentuk kepercayaan luar negeri terhadap pemerintah. Sehingga, semakin banyak utang yang dikucurkan, semakin besar pula kepercayaan luar negeri terhadap pemerintahan di sini. Demikian juga pemahaman bahwa pembangunan tidak bisa dilakukan kecuali harus dengan utang luar negeri.
Kedua, keinginan dan tekad kuat untuk mandiri harus ditancapkan sehingga memunculkan ide-ide kreatif yang dapat menyelesaikan berbagai problem kehidupan, termasuk problem ekonomi. Sebaliknya mentalitas ketergantungan pada luar negeri harus dikikis habis.
Ketiga, menekan segala bentuk pemborosan negara, baik oleh korupsi maupun anggaran yang memperkaya pribadi pejabat, yang bisa menyebabkan defisit anggaran. Proyek-proyek pembangunan ekonomi yang tidak strategis dalam jangka panjang, tidak sesuai dengan kebutuhan rakyat Indonesia, dan semakin menimbulkan kesenjangan sosial harus dihentikan.
Keempat, melakukan pengembangan dan pembangunan kemandirian dan ketahanan pangan. Dengan membangun sector pertanian khususnya produk-produk pertanian seperti beras, kacang, kedelai, tebu, kelapa sawit, peternakan dan perikanan yang masuk sembako. Dan memberdayakan lahan maupun barang milik negara dan umum (kaum muslimin) seperti laut, gunung, hutan, pantai, sungai, danau, pertambangan, emas, minyak, timah, tembaga, nikel, gas alam, batu bara dll.
Kelima, mengatur ekspor dan impor yang akan memperkuat ekonomi dalam negeri dengan memutuskan import atas barang-barang luar negeri yang diproduksi di dalam negeri dan membatasi import dalam bentuk bahan mentah atau bahan baku yang diperlukan untuk industri dasar dan industri berat yang sarat dengan teknologi tinggi. Serta memperbesar ekspor untuk barang-barang yang bernilai ekonomi tinggi, dengan catatan tidak mengganggu kebutuhan dalam negeri dan tidak memperkuat ekonomi dan eksistensi negara-negara Barat Imperialis.
Namun semua upaya ini hanya akan dapat berhasil dengan gemilang, tidak akan dapat mengantarkan umat menuju puncak keridhaan Allah SWT yang abadi, selain dengan menegakkan risalah Islam secara total dengan jalan menegakkan Khilafah Islamiyah yang bertanggung jawab menegakkan risalah Islam dan menyebarluaskan Islam ke seluruh pelosok dunia.
*) Aktifis Hizbut Tahrir Cilacap
Tidak ada komentar:
Posting Komentar