Oleh : M.S. Al-Khoddasy*)
1. Pesantren NU sebagai Salah Satu Basis Pengajaran Syariat Islam
Sesungguhnya, pesantren merupakan basis pengajaran (pengkaderan) Syariat Islam di Indonesia sejak lebih dari satu abad. Seiring dengan itu pula bermunculan para santri yang pada saatnya kelak diharapkan mampu membawa banyak perubahan dalam rangka penegakan Syariat Islam di tengah-tengah masyarakat dalam berbagai bidang kehidupan. Konsep menyeluruh mengenai Syariat Islam ini dapat diketahui dengan jelas pada berbagai kitab kuning yang diajarkan di pesantren seperti berbagai kitab aqidah (tauhid) maupun fiqih. Baik aqidah maupun fiqih ini sesungguhnya telah jelas menegaskan berbagai ajaran Islam untuk mengatur kehidupan manusia. Bidang tauhid membawa umat manusia menuju jalan yang satu yakni jalan Allah SWT. Bidang fiqih berisi penjabaran tauhid dalam berbagai bidang seperti ubudiyat, munakahat, muamalat, jinayat termasuk jihad fi sabilillah. Bidang-bidang tersebut jika diistilahkan dengan bahasa yang lebih gamblang meliputi antara lain pembentukan dan penguatan naluri pentaqdisan (ketuhanan), bidang ekonomi, sosial budaya, institusi keluarga yang kuat, hukum, kriminalitas, keamanan termasuk pertahanan negara. Berbagai kitab fiqih di pesantren dari yang rendah sampai yang agak tinggi antara lain safinatunnajah, riyadlul badi’ah, fathul qorib, fathul mu’in, Syarah Al-Bajuri, dan sebagainya. Kemudian ada lagi berbagai kitab yang menjadi dasar fiqih yakni kitab-kitab berisi hadits-hadits shohih maupun hasan seperti shohih Al-Bukhori, Shohih Muslim, serta beberapa kitab kuning para ahli hadits lainnya seperti Atturmudhi, Ibnu Majah dan sebagainya. Termasuk beberapa kitab berisi kumpulan hadits-hadits baik shohih maupun hasan seperti Bulughul Marom, Riyadlush-sholihin, Durrotunnashihin dan sebagainya. Kemudian juga berbagai kitab kuning yang menguraikan sistem etika dalam Islam seperti Sullamuttaufiq, Al-Adhkar, Ihya Ulumuddin, dan sebagainyaa. Semua kitab tersebut jelas berisi penjabaran Syariat Islam dalam berbagai bidang kehidupan.
Semua bidang yang dijelaskan kitab kuning baik menyangkut aqidah maupun fiqih tersebut sudah jelas bukan dibangun berdasarkan ideologi kapitalis-demokrasi, melainkan berdasarkan ideologi Islam. Perlu diketahui pula bahwa produk kitab kuning itu merupakan produk ulama-ulama hebat di era Khilafah Islamiyah bukan di era demokrasi. Tidak ada sejarahnya dan tidak ada relevansinya sama sekali bahwa baik aqidah maupun fiqih dibangun berlandaskan ideologi kapitalis-demokrasi. Karena, antara aqidah dan fiqih di satu sisi dengan ideologi kapitalis demokrasi di sisi lain, secara ideologis sama sekali tidak akan pernah sejalan alias selalu bertentangan. Ketika fiqih (sebagai penjabaran ideologi Islam) mengharuskan ketundukan kepada Allah SWT dalam semua bidang, demokrasi justru menghendaki agar manusia tunduk kepada hawa nafsu manusia secara total dalam semua aspek kehidupan. Maka telah jelas bahwa pesantren sesungguhnya merupakan basis pengajaran syariat Islam bukan basis pengajaran sistem bobrok kapitalis (demokrasi). Dengan kata lain, sistem kapitalis-demokrasi sesungguhnya musuh yang nyata bagi pesantren juga, karena sistem inilah yang merusak dan memusnahkan segala ajaran Islam yang selama ini diajarkan di ribuan pesantren di Indonesia kepada para santrinya. Contoh sederhana adalah tentang aurat wanita. Pesantren (dalam berbagai kitabnya) menghendaki bahwa wanita mestinya menutup seluruh tubuhnya kecuali muka dan telapak tangan. Namun apa jadinya ketika demokrasi justru mengatakan bahwa penampakan aurat wanita itu dikatakan sebagai seni yang indah dan kebebasan berekspresi. Padahal dalam kitab-kitab kuning dipesantren sudah jelas secara qoth’i bahwa membuka aurat itu perbuatan dosa, sama seperti dosanya seseorang yang meninggalkan sholat. Belum lagi bidang-bidang lain yang sangat luas seperti menyangkut sistem pergaulan masyarakat, yang tentunya semua yang ada dalam kitab kuning akan ditolak oleh ideologi kapitalis demokrasi baik secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan. Jadi sistem demokrasi itu benar-benar merusak ajaran kitab-kitab kuning yang diajarkan di pesantren. Benarlah apa yang dikatakan salah seorang PBNU ketika beliau memaparkan makalahnya pada tanggal 24 Desember 2008 di Ponpes Al-Fiel Kesugihan Cilacap, bahwa liberalisme (kebebasan) adalah tantangan bagi NU (tentunya pesantren juga) yang datang dari belahan Barat,.
2. Khilafah Islamiyah Ajaran Kitab Kuning
Sesungguhnya jika kita membuka kitab kuning secara jujur, kita akan mendapatkan bahwa kitab kuning merupakan kitab yang kuat dalam mempertahankan pemikiran Khilafah Islamiyah. Mayoritas konsep telah dijabarkan di dalam kitab-kitab yang diajarkan di seluruh pondok pesantren di Indonesia ini. Dalam hal ini kita bisa menelusuri dan mencermati beberapa kitab dan meneliti konsep Khilafah maupun turunannya yang dibahas di dalamnya. Kitab tersebut antara lain Safinatunnajah, Fathul Qorib, Fathul Mu’in, Al-Bajuri bahkan kitab akhlak seperti kitab Ta’limul Muta’allim, kitab Sullamut-Tahufiq termasuk Al-Adhkarun-Nawawi dan Ihya Ulumuddin. Dalam hal ini akan saya sampaikan secuil jejak Khilafah Islamiyah dalam Kitab Kasyifatussaja, Syarah Safinatunnajah.
KASYIFATUSY-SYAJA, kitab ini merupakan karya Asy-Syaikh Al-Imam, Al-Fadlil Ibnu Abdul Mu’thi Muhammad Nawawi Al-Jawi. Kitab ini merupakan Syarah Safinatunnajah: Ushuluddin dan fiqh, karya Asy-Syaikh al-alim al-Fadlil Salim bin Sumair Al-Hadlromy Asy-Syafi’i. Kitab Syarah Safinatun Najah ini memaparkan banyak konsep ketatanegaraan yang merupakan bagian / derivasi dari sistem Khilafah Islamiyah, misalnya menyangkut perekonomian. Adapun beberapa konsep tersebut antara lain adalah :
Tulisan pertama yang dibaca adalah lafadh بسم الله الرحمن الرحيم Tentu saja lafadz basmalah yang diletakkan untuk mengawali sebuah tulisan hanyalah milik sistem Islam bukan demokrasi. Diawalinya sebuah tulisan dengan basmalah bukan untuk tujuan pragmatis materialis melainkan memang telah menjadikan Allah SWT sebagai mindset berpikirnya. Tidak ada buku-buku karya Barat dan “derivasi”-nya yang memulai sebuah tulisan buku mereka dengan lafadz ini. Hal ini menunjukkan bahwa tulisan kitab Safinatunnajah ini adalah berideologi Islam bukan demokrasi.
Halaman 5 baris 14 dari bawah, mushonnif mengajukan sebuah definisi / ma’na al-Islam dari seorang ulama yakni Al-Bajuri. Beliau mendefiniskan islam sebagai berikut :
الاسلام لغة مطلق الانقياد، اي سواء كان للاحكام الشرعية او لغيرها. وشرعا الانقياد
للاحكام الشرعية. و قيل الاسلام هو العمل
“Islam secara bahasa diartikan sebagai ketundukan secara mutlak, baik terhadap hukum syar’i maupun kepada yang lainnya. Sedangkan menurut pengertian yang dimaksud Syara’, Islam tunduk kepada hukum-hukum Syar’i. Disebutkan, Islam bisa juga diartikan sebagai perbuatan (aktivitas nyata)”.
DIRHAM
Pada hlm 6, baris ke 16 dari bawah penulis menyebut istilah dirham. Dirham adalah mata uang resmi Pemerintahan Khilafah (di samping mata uang dinar). Dirham bukanlah mata uang yang bersumber dari sistem pemerintahan demokrasi. Dalam hal ini disebutkan :
. . . كان يحتاج الي عشرة دراهم . . .
“... misalnya seseorang butuh uang sebesar 10 dirham ...”
DINAR
Dinar juga merupakan salah satu mata uang resmi pemerintahan Khilafah Islamiyah, selain dirham. Dinar merupakan mata uang dengan nilai intrinsik yang tinggi yakni emas. Sedangkan dirham merupakan mata uang resmi juga dengan nilai intrinsik perak. Berkaitan dengan mata uang dinar, penulis kitab ini menjelaskan dalam hlm 7 baris ke 5 dari atas :
. . . او انت مكاتب علي دينارين تاُتي بهما في شهرين . . .
Lafadh tersebut sebagai contoh shighot pencatatan dalam hal distribusi zakat bagi riqob.
MEMBELANJAKAN HARTA NEGARA DARI POS ZAKAT
Dalam hlm 7 baris 10 dari atas, penulis kitab menjelaskan salah satu mekanisme pembelanjaan harta negara yang diterima dari zakat kaum Aghniya’. Zakat merupakan salah satu metode penguatan keuangan negara Khilafah Islamiyah. Pengambilan zakat hanyalah ditujukan kepada kaum muslimin yang memiliki kelebihan harta (kaya) serta dari kalangan ahludh-dhimmah yakni kaum kafir yang memilih dengan kehendaknya untuk menjadi warga negara Khilafah Islamiyah. Adapun zakat yang telah diambilnya itu akan didistribusikan untuk 8 ashnaf (kelompok orang yang berhak menerima bantuan zakat). Beginilah salah satu cara Khilafah Islamiyah dalam mencegah terjadinya kekurangan bahan pokok yang dialami seluruh warga negaranya. Hal seperti ini tidak akan mungkin dijumpai dalam sistem pemerintahan demokrasi sampai kapanpun walaupun berapapun harta yang telah dimiliki oleh negara itu. Berkaitan dengan pendistribusian zakat, penulis kitab menyatakan :
ويجوز صرف الزكاة اليهم قبل حلول النجوم . . .
“...Diperbolehkan mendistribusikan harta zakat kepada mereka sebelum lunasnya cicilan hutang ...”
SYARAT PENERIMA ZAKAT
Pemungut zakat merupakan pegawai negara Khilafah. Dia akan berinteraksi dengan para pemilik harta (orang kaya) dan mempunyai kekuatan hukum untuk mengambil harta mereka. Oleh karena itu pemungut zakat harus memenuhi persyaratan yang tegas. Setelah mereka memungut harta dari orang kaya, maka harta itu selanjutnya didistribusikan oleh negara (Khilafah) kepada rakyat yang layak untuk menerimanya. Berkaitan dengan syarat kelayakan seorang warga negara untuk mendapat zakat dari para aghniya’, penulis menyatakan dalam hlm 7 baris ke 13 dari bawah :
خاتمة} وشرط آخذالزكاة من هذه الثمانية حرية واسلام وان لايكون هاشمياولا مطلبيا}
“(Kesimpulan) Syarat penerima harta negara yang berupa zakat adalah orang yang merdeka (tidak terikat / terbelenggu status dan aktivitasnya), Islam dan harus bukan keturunan Bani Hasyim ataupun Bani Mutholib”.
AL-GHUZAATU WAL FAI’U (pasukan perang dan harta rampasan perang)
Penulis kitab memaparkan dan menjelaskan istilah tersebut sebagai salah satu kelompok orang yang berhak menerima harta negara Khilafah dari pos zakat yang dimiliki Khilafah Islamiyah. Al-ghuzaatu ini merupakan kelompok sabilillah sebagai salah satu ashnaf yang berhak menerima harta negara dari pos zakat. Dalam hal ini penulis kitab menyatakan dalam hlm 7 baris 18 dari bawah :
والسابع سبيل الله، وهم الغزاة المتطوعون بالجهاد،اي الذين لارزق لهم فى الفيء
ولو اغنياء اعانة لهم على الغزو
“(Ashnaf) yang ke tujuh adalah Sabilillah. Mereka adalah pasukan yang berperang yang berkorban dengan jihad, yang tidak mendapatkan bagian dari rampasan perang, walaupun mereka termasuk orang yang berkecukupan (kaya), sebagai apresiasi bantuan atas perang yang mereka lakukan”
Itulah sebagian konsep yang dapat saya sajikan dari Syarah Safinatunnajah, yang sesungguhnya merupakan jejak Khilafah Islamiyah, di samping seluruh kitab kuning yang lain. Sebenarnya masih banyak konsep yang dapat kita jumpai dalam kitab ini jika kita ingin mendalaminya. Maka betapa aneh dan janggalnya warga NU yang merasa asing dengan Khilafah Islamiyah apalagi menolak Khilafah Islamiyah. Wal ‘iyaadhu billaah...
3. Hizbut Tahrir : Mitra Utama Pesantren dalam Penegakan Syariat Islam
Uraian di atas menggambarkan sesungguhnya terdapat banyak kesamaan yang paling mendasar antara Hizbut Tahrir dengan pesantren - sebagai pondasi berdirinya Nahdlotul ‘Ulama (NU) - di Indonesia ini yakni keinginan yang sungguh-sungguh untuk segera diterapkannya Syariat Islam di semua bidang demi menyelamatkan umat manusia dari kerusakan yang sangat parah. Namun belum intensifnya komunikasi antara antara Hizbut Tahrir dan pesantren tampaknya banyak menimbulkan kecurigaan (su’udhon) walaupun perbuatan ini jelas merupakan tindakan dosa. Masih sering kita temui adanya kecurigaan NU terhadap Hizbut Tahrir. Mereka merasakan seolah-olah Hizbut Tahrir mengancam eksistensi NU. Namun menarik sekali pandangan yang dikatakan PBNU (24 Desember 2008 di Ponpes Al-Fiel Kesugihan Cilacap) bahwa tidak ada masalah dengan HTI. Selain itu pernyataan DPP Hizbut Tahrir juga sangat menyejukkan dan tampaknya menjadi tanda-tanda yang baik buat terjalinnya hubungan yang lebih erat antara NU dan HTI di masa yang akan datang. Dalam hal ini dengan gamblang DPP HTI menyatakan bahwa pihak HTI tidak pernah mengeluarkan statement yang begitu mudah mengatakan bid’ah ataupun haram terhadap tradisi yang ada di NU. Pernyataan DPP HTI ini tentu saja sangat bertolak belakang dengan prasangka sebagian kelompok Nahdliyin (karena belum tahu) yang merasa bahwa HTI juga termasuk yang mengancam eksistensi NU dan dianggapnya termasuk kelompok yang suka mengatakan bid’ah terhadap kelompok NU.
Sesuatu yang diperjuangkan Hizbut Tahrir semakin jelas yakni penegakan Syariat Islam dalam naungan Khilafah Islamiyah sehingga Syariat Islam dapat diterapkan dalam berbagai aspek kehidupan sesuai amanat kitab-kitab kuning serta mufakat jumhurul ulama. Di sini tampak jelas bahwa sesungguhnya ide-ide yang dikembangkan oleh Hizbut Tahrir di seluruh dunia adalah juga merupakan ajaran yang selama ini telah diajarkan di ribuan pesantren di Indonesia selama lebih dari satu abad. Dalam konteks inilah semestinya pesantren justru menyambut baik dan bangga dengan adanya Hizbut Tahrir dan siap mendukung penuh perjuangan Hizbut Tahrir karena Hizbut Tahrir bersungguh-sungguh untuk memperjuangkan ajaran yang terdapat dalam kitab-kitab kuning di pesantren. Jadi, Hizbut Tahrir bukanlah musuh bagi pesantren melainkan mitra utama dalam penegakan Syariat Islam dalam institusi Khilafah Islamiyah. Institusi Khilafah Islamiyah sesungguhnya merupakan ajaran jumhurul ulama. Mereka bersepakat bahwa menegakkan Khilafah Islamiyah adalah wajib. Dengan demikian apakah harus Khilafah Islamiyah atau tidak, sesungguhnya tidak perlu lagi diperdebatkan jika kita memang bersungguh-sungguh mengikuti jumhur ulama sebagai ahlussunnah wal jama’ah dan warotsatul anbiya itu. Barokallohu lana walakum ajma’in fid dunya wal akhiroh. Amin...
*) Penulis adalah guru dan aktivis NU tinggal di Cilacap
12 Mei 2009
Hizbut Tahrir dan Pondok Pesantren
Langganan:
Posting Komentar (Atom)





Tidak ada komentar:
Posting Komentar