16 Februari 2009

Golput Menunjukkan Kesadaran Politik yang Tinggi Karena Ketidakpercayaan Rakyat kepada Sistem dan Kinerja Parpol

Harus dirubah cara pandang bahwa Golput menunjukkan kesadaran politik yang tinggi karena ketidakpercayaan rakyat kepada sistem dan kinerja parpol. Jadi, yang harus diperbaiki adalah kinerja parpol, parlemen dan pemerintah, bukan umat / rakyat, karena golputnya rakyat / umat adalah karena mereka sebagai korban. Ketika orang yang tidak menggunakan hak pilihan politiknya, tidak bisa dikatakan dia apolitik. Sebab, boleh jadi hal itu didasarkan pada pengetahuan politik dan sikap politik. Tidak memilih (golput) itu juga merupakan hak, yakni hak untuk tidak memilih. Oleh karena itu, MUI seharusnya memfatwakan terhadap haramnya memilih caleg yang tidak memperjuangkan tegaknya syariat Islam secara kaffah.
Itulah kesimpulan yang disampaikan Ust. Kurnia Agus S.,SSos dari DPD II Hizbut Tahrir Indonesia Cilacap dalam acara Halqah Islam dan Peradaban 4 yang digelar DPD I Hzibut Tahrir Indonesia Cilacap pada Ahad, 15 Februari 2009 kemarin.

Ust. Kunia sebelumnya menjelaskan bahwa setidakya ada dua alasan mengapa orang memilih golput. Pertama alasan ekonomi dimana Masyarakat semakin sadar bahwa Pemilu tidak menjanjikan perubahan akan kesejahteraan. Padahal harapan masyarakat sebenarnya sederhana. Begitu mereka nyoblos atau mencontreng, kesejahteraan mereka bisa menjadi lebih baik dengan pemerintahan terpilih. Kenyataannya, ada ruang yang sangat luas dan terkadang manipulatif antara Pemilu dan kesejahteraan, katanya mengutip pernyataan Pengamat politik J. Kristiadi. Alasan kedua adalah Alasan Ideologis dimana pemilu tidak akan pernah menjanjikan perubahan apapun. Pasalnya, demokrasi hanya semakin mengokohkan sekularisme. Padahal Sekularismelah yang menjadi biasng segala krisis. Sekularisme telah nyata menjauhkan syariah Islam untuk mengatur segala aspek kehidupan.

Dalam acara yang dilaksanakan di masjid Daarussalaam Jalan Merapi Cilacap ini juga menghadirkan pembicara lain dari DPD II Hizbut Tahrir Indonesia Cilacap, yaitu Ust. M Zahid Farhan yang memaparkan masalah Pemilu dalam pandangan Islam. Beliau menjelaskan bahwa pemilihan umum dalam pandangan Islam hanya merupakan uslub (perkara teknis) untuk memilih pemimpin (khalifah) bukan merupakan thariqah (metode). Pemilihan khalifah dalam sistem pemerintahan Islam - lanjutnya - tidak harus dengan pemilihan umum yang mengabiskan begitu banyak biaya seperti yang ada saat ini. Bisa dilakukan dengan musyawarah seperti yang dilaksanakan pada saat pemilihan Abu Bakar Ash-Shiddiq, penunjukan oleh khalifah sebelumnya seperti pada maca pemilihan Umar bin Khaththab, penunjukan beberapa orang untuk memilih calon khalifah seperti saat memilih Utsman bin Affan, atau dipilih oleh Ahlul halli wal aqdi seperti saat pemilihan Ali bin Abi Thalib. Sedangkan pengangkatannya (thariqahya) melalui bai'at. Kendati uslub pemilihan khulafa'ur rasyidin berbeda - beda tetapi tidak ada perbedaan bahwa mereka semua diangkat dengan bai'at. Demikian juga khalifah-khalifah sesudahnya hingga khalifah terakhir.
Sedangkan pengangkatan anggota majelis ummat dilakukan dengan ketentuan wakalah (perwakilan) dimana antara yang mewakilkan dan yang mewakili harus hadir dalam satu majelis. Jadi tidak bisa dengan mencontreng, tandasnya. Di samping itu perkara yang diwakilkan juga merupakan hal yang dibolehkan secara syar'i. Majelis ummat dalam sistem pemerintaha Islam berfungsi untuk menyampaikan muhasabah (kontrol) terhadap pelaksanaan pemeliharaan urusan ummat oleh negara dengan Islam dan menyampaikan aspirasi ummat kepada negara. Bukan melakukan aktifitas membuat hukum, karena hukum yang diadopsi adalah syariat Islam yang diadopsi oleh khalifah. (Pro Syariah)

Bookmark and Share

Tidak ada komentar:

Related Posts with Thumbnails