Sebulan ini, Dusun Kedungsari, Desa Balongsari, Kecamatan Megaluh, Kabupaten Jombang banyak menjadi perbincangan masyakarat. Di desa yang jauh dari perkotaan itu, masyarakat menggunjingkan kemampuan Ponari, bocah kelas III SD yang berubah menjadi sosok yang dianggap mampu menjadi penolong bagi si sakit.
Dari hari ke hari, jumlah pasien bocah berumur sembilan tahun ini semakin tak terkendali. Berawal dari satuan, puluhan, ratusan, ribuan hingga puncaknya kemarin, pasien Ponari mencapai angka 50 ribu orang. Sungguh, di mata masyakarat, Ponari menjadi satu-satunya pilihan atas sakit yang diderita. Fungsi dokter, sudah mulai ditinggalkan.
Dari puluhan ribu warga yang berharap sembuh ini, setidaknya memiliki alasan kenapa mereka harus rela mengantre hingga beberapa hari, hanya sekedar meminta air yang dijampi-jampi dengan batu yang katanya ajaib itu. Selain alasan ingin sembuh, mereka juga memiliki alasan yang bisa memukul para dokter. Kenapa demikian, mereka menganggap jika tarif dokter yang melangit, tak lagi terjangkau.
Alasan itu tak hanya alasan yang diungkapkan segelintir orang saja. Setidaknya, ini dibuktikan dengan "baju" para pasien Ponari yang rata-rata adalah kalangan menengah bawah. Hanya berbekal uang Rp 1.000 untuk membeli tiket antrean, dan beberapa lembar ribuan lainnya untuk sumbangan, mereka sudah mendapatkan sugesti jika sakitnya akan hilang berkat tangan Ponari.
Setidaknya, alasan inilah yang diungkapkan Karim (36), salah satu pasien dari Kota Blitar yang kemarin bertandang ke rumah praktik Ponari. Bapak yang mengalami sakit pegal-pegal dan tak kunjung sembuh ini, mengaku enggan pergi ke dokter untuk sakit yang sudah tujuh bulan menghinggapinya itu. Lagi-lagi, alasannya adalah mahalnya biaya untuk berobat ke dokter.
"Kalau ke dokter mahal. Di sini (rumah Ponari), cukup hanya dengan membeli kupon saja. Soal tarif, tak ditentukan," kata Karim, sembari memegang erat segelas air mineral untuk dijampikan ke Ponari.
Hanya alasan tarif itu, ia harus rela berlama-lama dan berdesakan diantara puluhan ribu pasien Ponari lainnya. Meski dalam sehari, tak tentu ia bisa mendapatkan obat atas sakitnya itu. Sudah dua hari ini ia menginap di desa kelahiran Ponari. Tidurpun, ia tak mengabaikan. "Saya tidur di teras rumah penduduk. Sebelumnya, saya tidur di masjid. Dan baru hari ini saya dapat kupon," lanjutnya, kemudian menunjukkan kupon bernomor 8818 itu.
Dia lantas menyinggung kualitas dokter dalam menangani pasiennya. Tanpa meremehkan, dia juga mengaku telah berkali-kali berobat ke paramedis. Hasilnya, kesembuhan tak kunjung datang. "Saya berangkat dari keyakinan. Dan saya yakin bisa sembuh, seperti beberapa tetangga saya yang sudah mendapatkan hasil dari sini," tukas pria yang mengaku berangkat serombongan bersama 12 orang dengan menggunakan mobil pick up ini.
Alasan lain juga diungapkan Sutianah, pasien Ponari lainnya asal Kecamatan Sukomoro Kabupaten Nganjuk. Ibu tiga anak yang menderita penyakit pusing menahun itu juga mengungkapkan alasan yang sama dengan Karim. Dokter, dianggap hanya milik mereka yang memiliki kocek lebih. Sementara untuknya, hanya cukup berobat alternatif, yang selalu memberlakukan tarif seadanya. "Dokter mahal. Berkali-kali saya berobat, selalu di tempat pengobatan alternatif," aku Sutianah dengan logat bahasa Jawa kental.
Dia lantas menyebut tarif dokter yang dianggapnya selangit itu. Menurutnya, hanya untuk sekedar memeriksakan diri, ia harus merogoh kocek minimal Rp 50 ribu sekali berobat. Belum lagi, dokter akan menyodorkan resep yang selalu bernilai tinggi. "Kalau di puskesmas, meski agak murah, tapi jarang bisa sembuh untuk penyakit yang parah," katanya sembari berkali-kali menyebut dirinya yakin akan sembih berkat obat yang diberikan Ponari.
Membludaknya pasien Ponari ini, ditanggapi oleh salah satu dokter di Jombang, dr Ivan Rovian. Pria yang juga menjabat sebagai Kepala Unit Transfusi Darah (UTD) PMI Jombang ini menyebut, jika pengobatan yang dilakukan Ponari itu lebih pada sugesti, dan jauh dari kata ilmiah. "Memang, selain obat, penyembuh penyakit lainnya adalah sugesti. Jika pasien memiliki keyakinan yang kuat akan sembuh, maka dengan obat apapun akan bisa sembuh," kata Ivan.
Dia juga mengungkapkan, obat yang diberikan Ponari berupa air mineral yang tekah dicelupkan dengan batu, secara medis tak memiliki khasiat apapun, selain khasiat air mineral itu sendiri. Selebihnya kata dia, yang berperan adalah sugesti si pasien. "Kita memandang dari sisi medis. Kalau ada yang percaya dengan model pengobatan seperti itu, saya juga tak menyalahkan," tukasnya.
Soal mahalnya biaya berobat ke dokter versi pasien, dia mengaku jika tarif yang ditetapkan, sesuai dengan jasa yang diberikan. Ia menampik jika dokter hanya milik golongan ekonomi kelas menengah atas. "Itu relatif. Toh tak harus ke tempat praktiknya. Bisa juga di puskesmas," tandasnya.
Namun banyaknya masyarakat yang enggan pergi ke puskesmas karena buruknya layanan di sejumlah puskesmas, seperti yang terjadi di Surabaya, sebagaimana dituturkan Sekretaris Komisi D Bidang Kesra dan Pendidikan DPRD Surabaya, Muhammad Alyas.
"Hasil jaring asmara (jaring aspirasi masyarakat) di lima kecamatan, ternyata banyak warga yang masih mengeluhkan buruknya pelayanan yang diberikan puskesmas," katanya di Surabaya.
Menurut dia, keluhan yang dirasakan warga selama ini adalah mahalnya biaya karcis untuk sekali layanan. Selain itu, kurang ramahnya respon yang diberikan petugas paramedis di Puskesmas ketika memberikan layanan, membuat warga jera untuk berobat ke Puskesmas.(www.kapanlagi.com)
Sementara itu meski diingatkan polisi bahwa pengobatan tabib cilik asal Jombang, Muhammad Ponari (9) di Dusun Kedungsari, Desa Balongsari, Kecamatan Megaluh, Kabupaten Jombang telah ditutup, ribuan warga tetap berdesak-desakan mengantre untuk mendapat giliran. Akibatnya, salah seorang calon pasien tewas terinjak-injak.
Insiden itu terjadi pada pukul 13.15 WIB, Senin (9/2/2009). Berdasarkan pantauan di lokasi, polisi yang melakukan evakuasi korban cukup kesulitan karena korban berada di tengah-tengah antrean. Evakuasi korban pun memakan waktu sekira 15 menit.
Setelah berhasil membawa tubuh korban keluar dari kerumunan, polisi langsung membungkusnya dengan tikar dan membawanya ke RSUD Jombang untuk diautopsi.
Belum diketahui jelas identitas korban. Namun terlihat korban berjenis kelamin pria, dan menurut polisi korban berasal dari Blitar.
Kapolsek Megaluh, AKP Sutikno, membantah korban tewas karena berdesak-desakkan. Menurut dia, korban telah selesai berobat dan tidak dalam antrean.
Sementara itu meski telah terjadi insiden yang menewaskan seorang calon pasien, ribuan warga tetap antre. Mereka tidak mengindahkan peringatan polisi bahwa pengobatan telah ditutup untuk hari ini.
Insiden ini merupakan insiden kedua setelah sebelumnya pada pekan lalu dua orang tewas akibat terinjak-injak saat berdesakan mengantre untuk minta obat kepada Ponari.
(diolah dari : okezone.com dan kapanlagi.com)
10 Februari 2009
Fenomena Ponari dan Mahalnya Tarif Dokter
Label:
Berita Nasional,
Sosial Budaya
Langganan:
Posting Komentar (Atom)





Tidak ada komentar:
Posting Komentar