15 Desember 2008

KRISIS MUMBAI, Legitimasi Amerika Untuk Menyerang Pakistan

Krisis Mumbai akhir November lalu telah berakhir. Pihak keamanan India mengumumkan krisis yang dimulai pada Rabu 26 November 2008 itu menelan korban tewas tercatat 179 orang dan 300 orang lainnya terluka. Di antara korban tewas adalah 26 warga asing termasuk di antaranya 8 orang warga Israel. Serangan terhadap kota kelahiran perfilman Bollywood ini memang menarik perhatian dunia. Seruan memerangi terorisme pun kembali digaungkan oleh Amerika Serikat. Pemimpin negara lain yang menjadi konco-konconya pun mengamini.
Kini setelah krisis berlalu, Amerika, India dan Pakistan disibukkan dengan agenda untuk mengungkap misteri siapa sebenarnya pelaku serangan ini dan kemudian mengejarnya. India menuduh keterlibatan Pakistan dalam peristiwa itu. "Keterlibatan Inter-Services Intelligence (ISI) jelas dan terbukti," tulis suratkabar Times of India yang mengutip sumber-sumber intelijen India sebagaimana dilaporkan Reuters. ISI adalah lembaga intelijen utama Pakistan. (http://www.republika.co.id) Pakistan tentu menampik tuduhan itu. Presiden Asif Ali Zardari mengatakan, bisa saja militan yang terlibat namun tak ada kaitannya dengan pemerintah Pakistan. (http://international.okezone.com). Desakan India agar Pakistan menyerahkan sejumlah nama yang mereka tuduh sebagai pelaku pun ditolak Pakistan. Pakistan memilih untuk melakukan operasi perburuan sendiri. Kondisi ini menjadikan kondisi wilayah itu memanas. Pihak militer Pakistan telah melancarkan sebuah operasi yang mensasarkan kelompok militan yang dituduh terkait dengan serangan maut itu. Pakistan melakukan penyerbuan ke markas Jamaat-ud-Dawa, lembaga amal yang berafiliasi dengan Lashkar-e-Taiba, organisasi yang disebut-sebut dalang serangan teroris di Mumbai.

Terlepas dari siapa pelaku serangan itu krisis Mumbai bisa dipastikan akan digunakan untuk kepentingan negara-negara besar dalam rangka mengukuhkan hegemoninya. Apalalgi pasca Musharraf, di Pakistan sendiri sedang terjadi instablilitas politik, sehingga tentu akan sangat memudahkan AS melumpukan Pakistan. Selain itu, faktor India juga sangat menentukan, karena AS membutuhkan mitra strategis dan kemungkinan besar yang akan dijadikan mitra strategis AS adalah India. Sekaligus tentunya sebagai konsumen senjata AS, India tentu akan sangat membantu AS untuk menjual senjatanya, sebagai ‘solusi’ krisis keuangan negerinya.
Patut dicurigai kemungkinan rekayasa yang dilakukan oleh Amerika Serikat atau India sendiri dalam peristiwa ini. Amerika Serikat sudah mengingatkan India akan serangan dari arah laut ke Mumbai satu bulan sebelumnya. Intelijen AS menginformasikan pelaku penyerang akan datang dari laut. Otoritas keamanan India bahkan seperti dikutip CNN, Selasa (2/12/2008) mengatakan, tak hanya laporan dari intelijen AS. Keamanan India juga mengingatkan otoritas di Mumbai untuk meningkatkan keamanan. Nelayan setempat pada Rabu malam pekan lalu (26/11/2008) menyaksikan pelaku penyerangan melabuhkan kapal mereka sebelum masuk ke keramaian kota. Sebelumnya pihak kemanan juga menerima laporan bahwa ada sebuah kapal yang dibajak. Sebanyak empat krunya hilang dan nahkoda ditemukan tewas dengan tangan terikat ke belakang. (http://international.okezone.com). Fakta ini menunjukkan adanya kesengajaan untuk membiarkan serangan ini terjadi, tentunya untuk satu tujuan tertentu. Apalagi Obama presiden terpilih AS secara terbuka mengatakan bahwa wilayah Pakistan dan Afghanistan yang berdekatan dengan India akan menjadi wilayah garis terdepan bagi AS untuk memerangi terorisme. Hal ini terungkap dari rencana Obama untuk menarik pasukan dari Irak dan memindahkannya ke Afghanistan.
Sebelumnya Bill Kristol, seorang komentator dari Fox TV dan tokoh neokonservatif Amerika menceritakan adanya suatu pertemuan off-the-record yang berlangsung selama 90 menit dengan sekelompok kecil wartawan pada awal bulan Juli, Presiden Bush “memberikan kesan bahwa tantangan terbesar bagi presiden berikutnya bukanlah Irak, yang dia perkirakan akan dia tinggalkan dalam keadaan yang baik, dan bukan juga Afghanistan, yang mampu mengatur dirinya sendiri … tapi tantangan itu adalah Pakistan.” Kami telah punya “pemerintahan yang bersahabat yang kadang bisa bekerja sama kadang juga tidak. Hal ini adalah situasi yang rumit dan sulit.” Seperti telah mengetahui hal ini, calon presiden Barack Obama mengambil tongkat estafet dari Bush ketika dia berujar dalam pidatonya pada tanggal 15 Juli, bahwa diperlukan perhatian dan sumber daya baik pada Afghanistan maupun Pakistan.
Sementara itu Pemerintah Pakistan telah membuka diri untuk tunduk pada kepentingan AS. Tidak berbeda dengan pendahulunya Presiden Asif Ali Zardari pun berkomitmen untuk mendukung Amerika. Kepada Washington Post dia mengatakan, ”kami berdiri berdampingan dengan Amerika, Inggris…….., perang yang sedang kita lakukan adalah perang kami.” (www.suara-islam.com)

Mengapa Pakistan begitu penting?
Wakil Asisten Kepala Sekretaris Menteri Pertahanan untuk Keamanan Asia Pasifik memberikan alasan-alasan berikut dalam kesaksiannya pada Komite Hubungan Luar Negeri Senat AS tanggal 25 Juni 2008:
Pertama, Pakistan adalah negara dengan penduduk muslim terbesar kedua, negara keenam terpadat di dunia, dan terletak pada perlintasan geopolitik Asia Selatan dan Asia Tengah.
Kedua, Pakistan memiliki senjata-senjata nuklir dan telah berperang tiga kali dengan menggunakan senjata konvensional dengan negara tetangganya yang juga memiliki senjata nuklir, India.
Ketiga, Pakistan memiliki kelompok menengah yang besar dan tumbuh, yang berjuang untuk demokrasi.
Keempat, elemen-elemen ekstrimisme dan terrorisme masih terdapat di dalam negeri Pakistan.
Kelima, bantuan sepenuh hati dari masyarakat Pakistan dan pemerintahnya akan membantu Amerika Serikat untuk dapat mencapai tujuan-tujuan keamanannya di Afghanistan.
Keenam, dan yang paling penting, kaum militan dan teroris di dalam wilayah perbatasan Pakistan merupakan suatu ancaman langsung bagi keamanan dalam negeri Amerika Serikat.
Mantan Menlu AS Henry Kissinger dalam sebuah artikel yang diterbitkan Washington Post pada bulan Maret mendefinisikan tujuan-tujuan Amerika di Pakistan sebagai “melakukan kontrol atas senjata-senjata nuklir, kerjasama pemberantasan terorisme dan perlawanan terhadap Islam radikal” dan meyakini Pakistan dapat berubah menjadi “faktor yang tidak bisa diprediksi dari diplomasi internasional.” Hal ini disuarakan oleh Panglima Angkatan Bersenjata Turki Jendral Yaşar Büyükanıt yang berbicara pada bulan Maret pada sebuah konperensi internasional di Ankara dengan memperingatkan bahwa kesulitan-kesulitan politik yang dihadapi Pakistan akan memberi jalan bagi Taliban untuk mengambil kekuasaan atas negeri itu beserta senjata nuklirnya.
Amerika mengkhawatirkan Pakistan, karena negara itu mengandung berbagai elemen kunci Islam, senjata nuklir dan masyarakat yang tidak sabar akan perubahan dan yang tidak mempercayai Amerika. Survey yang konsisten menunjukkan bahwa tingkat persetujuan terhadap kehadiran Amerika adalah kurang dari 20% di Pakistan dan bahwa masyarakat Pakistan yang menginginkan hukum Islam tidaklah seimbang dengan keinginan atas ekstremisme yang penuh kekerasan. Keinginan bagi pemerintahan Islam yang bersekutu dengan unsur-unsur di atas dengan jelas menggambarkan kenapa Pakistan telah menjadi sasaran utama dari layar radar Washington dan kenapa Ketua Staff Gabungan Admiral Mike Mullen hingga saat ini melakukan empat kali kunjungan ke Pakistan sejak Februari.

Bagaimana seharusnya respon kaum Muslim di wilayah itu?
Mereka paling sedikit harus melakukan tiga hal:
A. Pakistan harus menyadari apa yang sedang dilakukan oleh Amerika. Tidak perlu kepintaran akan hubungan internasional untuk bisa menyimpulkan bahwa Amerika sedang melakukan hal seperti yang sudah dilakukannya di Irak, yakni mengurangi kemampuan militernya dan memecah belah negara itu dalam entitas yang terpisah. Angkatan bersenjata yang secara efektif mengkontrol Pakistan bukanlah bodoh; mereka memahami dinamika politik yang sedang berlangsung. Jendral Bintang Empat Tariq Majeed, Ketua Komite Staf Gabungan mengatakan pada konferensi internasional belum lama ini di Singapura bahwa serangan rudal yang melintasi perbatasan yang mengenai wilayah Pakistan yang dikuasai suku-suku, telah menewaskan penduduk sipil dan memberikan persepsi umum bahwa operasi-operasi militer AS di wilayah itu adalah “anti-Islam.” Mereka memahami bahwa ketika AS berbicara mengenai reformasi Korps Perbatasan (Frontier Corps), ini adalah untuk memastikan bahwa mereka berperang lebih efektif bagi AS, bukan bagi Pakistan. Mereka juga memahami bahwa sementara AS punya hubungan taktis dengan Pakistan, negara itu juga membina hubungan strategis dengan India bahkan sampai pada tingkat menawarkan bantuan nuklir yang baru bagi keperluan sipil. Bantuan sebesar $10 juta yang telah diberikan AS pada Pakistan sejak tahun 2001 tidak ada artinya, jika Pakistan pada akhirnya terpecah belah menjadi banyak pecahan-pecahan kecil. Dengan Propinsi Perbatasan Barat Daya (NWFP), Balouhistan dan Karachi berjalan tertatih-tatih, sementara AS punya kesempatan satu generasi untuk menjadikan dan mem-balkanisasi Pakistan menjadi wilayah neraka.
B. Jalur suplai ke Afghanistan bagi AS adalah bisa melalui wilayah pegunungan Asia Tengah atau melalui pelabuhan di Karachi. Tanpa Pakistan, logistik, aliran suplai, bahan bakar dan segala perangkat keras militer lainnya akan segera menghentikan serangan ke Afghanistan. Tidak ada kepentingan strategis bagi Pakistan untuk melanjutkan dukungan bagi Perang yang dilakukan Amerika di Afghanistan.
Terakhir, masyarakat Pakistan dan Afghanistan harus menyadari bahwa bukan kediktatoran brutal maupun demokrasi sekuler yang bisa bertahan di Dunia Islam. Seperti yang telah disaksikan sejak Februari, kelas politik di Pakistan tidak punya solusi yang berkaitan dengan harga bahan bakar yang tinggi, harga makanan yang tinggi dan buruknya kondisi ekonomi. Presiden Afghan juga telah mengepalai sebuah negara dimana setelah hampir 7 tahun, kelaparan, korupsi, kekurangan listrik dan pembunuhan penduduk sipil adalah seperti semboyan bagi Afghanistan masa kini.
Hanya sistim Khilafah yang telah teruji dan dipercayalah yang dapat berlangsung di Dunia Islam. Usaha-usaha yang sama untuk menegakkan kembali Khilafah pada saat ini menjadi sebuah tuntutan yang mendesak dan sedang mendapatkan momentumnya. Menurut sebuah polling opini yang dilakukan oleh University of Maryland, 74% orang Pakistan mendukung didirikannya sebuah Khilafah Islam yang satu bagi Dunia Islam, dimana pendirian entitas seperti itu bukanlah sebuah pertanyaan lagi, melainkan adalah kapan.
Memang problem-problem utama di Afghanistan dan Pakistan bukanlah sumber-sumber ekonomi melainkan pada kemauan politik. Afghanistan dan Pakistan bukanlah ‘negara-negara yang gagal.’ Sayangnya, bagi masyarakat Afghanistan telah menjadi sasaran serangan oleh kekuatan-kekuatan asing selama 25 tahun terakhir dan ini masih menjadi masalah mereka. Bagi rakyat Pakistan, mereka telah menyaksikan selama lebih dari 60 tahun-tahun kegagalan politik dengan apa yang dinamakan sebagai “kemerdekaan” hanyalah sebuah permainan kata.

Masa Depan di Tangan Kaum Muslimin.
Saat ini dunia sedang memasuki paradigma yang baru dalam hubungan internasional. The Fed di Washington tidak akan disebut lagi pemecah masalah. Dollar tidak lagi merajalela. Militer Amerika bukan lagi yang tidak terkalahkan. Apa yang dianggap sebagai kebenaran yang terbukti dengan sendirinya di Philadelphia pada lebih dua abad yang lalu sekarang telah meruntuhkan Wall Street dan gelombang tsunami ekonomi terjadi di seluruh dunia.
Banyak yang menyebut Khilafah sebagai suatu mimpi yang utopis, namun sekarang mereka yang berkata demikian menjadi ragu-ragu. Sebuah laporan intelejen Pemerintah AS oleh Dewan Intelejen Nasional (National Intelligence Council) pada tahun 2004 menyebut dalam “Mapping the Global Future” bahwa salah satu skenario masa depan adalah munculnya Khilafah sebagai kekuatan lintas negara yang baru. Thomas Ricks seorang koresponden senior pada the Washington Post di Pentagon pada bukunya yang berjudul “Fiasco” mengatakan bahwa ada contoh bagi timbulnya suatu negara yang menyatukan Dunia Islam di zaman modern, yakni seseorang Saladin yang dapat menyatukan wilayah muslim dengan mengkombinasikannya dengan dukungan cadangan minyak bumi yang besar. Sebuah ‘Skenario Mimpi Buruk” yang nyata bagi dunia barat sebagaimana yang pernah digambarkan oleh Richard Nixon pada bukunya tahun 1999. Sementara National Intelligence Council (NIC) baru – baru ini melalui sebuah laporannya yang berjudul ”Global Trends 2025” memprediksikan pada tahun 2025 Amerika merosot secara politik, ekonomi, dan militer.
Kini saatnya bagi kita untuk bangkit memperjuangkan tegaknya Khilafah. Karena hanya khilafahlah yang akan menghentikan semua penjajahan dan kesewenangwenangan kaum kafir yang telah menjadikan kita hina di negeri kita sendiri. Hanya khilafahlah yang akan melindungi dan menjaga kemuliaan Islam dan kaum muslimin. Karena Khalifah adalah perisai sebagaimana sabda Rasulullah saw:

«إِنَّمَا الإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ»
“Imam (khalifah) tak lain adalah perisai, dimana dia akan melindungi orang-orang yang berperang di belakangnya, dan menjadi benteng bagi mereka.” (HR Muslim)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ
Wahai orang-orang yang beriman penuhilah seruan Allah dan Rasul-Nya, jika keduanya menyerukan kepada kalian kepada apa yang akan bisa menghidupkan kalian. (Q.s. al-Anfal [08]: 24)

Allahu a’lam bishshsawab.


Bookmark and Share

Tidak ada komentar:

Related Posts with Thumbnails