Krisis ekonomi dunia tak pelak telah mengubah AS dalam komitmen dan strategi globalnya. Semua pihak dan golongan di AS sudah sepakat mengakui bahwa As semakin hari semakin keropos dalam segala bidang pembangunan.
"Kita sekarang benar-benar tidak punya uang lagi," ujar Loren Thompson, analis pertahanan di Institut Lexington, "AS tak mungkin lagi menjadi polisi dunia. Kita tak mungkin lagi melakukan hal seperti itu." Para pengamat politik menyebut AS sekarang tengah bertransformasi dari negara adidaya menjadi negara seribu satu masalah. Itu pula yang pernah diungkapkan oleh Madeleine Albright, mantan Sekretaris Negara AS.
"Dilihat dari sudut manapun, militer AS sekarang tengah berada dalam krisis," Gregory Martin, seorang konsultan pertahanan dan mantan jenderal angkatan udara, mengungkapkan. Menurut Martin, AS bahkan tidak sanggup lagi membeli atau memproduksi pesawat-pesawat tempur dan berbagai senjata yang lainnya. Bahkan untuk sekelas F-22, F-35 yang dari segi pembiayaan dapat digolongkan murah bagi AS. "Jika pemerintah tak lagi dapat mengusahakan pesawat-pesawat itu saja, skala AS sudah selayaknya diputar ulang." Martin menegaskan.
Rebecca Grant, direktur Mithcel Institut mengatakan, "AS tidak tahu kemana sekarang harus melangkah."
Grant, Thompson dan Martin hanya tiga dari analis militer AS yang tampak putus asa. Barry Watts, analis yang lain, mengungkapkan AS kehilangan arah strategi yang benar. Watts menunjuk kasus pembelian tank oleh Pentagon lima tahun lalu. Padahal, sekarang ini, pesawat tempur AS sudah berada dalam kondisi tua dan hampir bobrok.
Seberapa parah krisis di tubuh militer AS? Thompson mengatakan, "Tak ada lagi proyek satelit komunikasi, radio global, dan tak akan ada produksi F-22 sampai tahun 2011."
Berdasarkan kondisi ini dapatlah dimengerti mengapa AS tampak mulai mengubah strateginya di Afghanistan termasuk dengan bersikap lebih lunak terhadap Taliban.
Pemerintahan Barack Obama sedang mempertimbangkan untuk mengikutsertakan kelompok Taliban dalam proses politik di Afghanistan, sebagai paya untuk meredam perlawanan Taliban terhadap pasukan koalisi pimpinan AS dan strategi baru AS di Afghanistan.
Untuk itu, AS akan mengubah konstitusi Afganistan untuk membuka jalan dialog dengan Taliban. AS juga akan mengijinkan Taliban membentuk partai politik dan mengajukan para anggotanya sebagai kandidat dalam pemilu umum, mencoret nama-nama pimpinan Taliban dari daftar hitam di PBB dan membebaskan angota Taliban yang ditawan militer AS.
Duta Besar AS untuk Afghanistan, William Wood mengungkapkan sinyal perubahan strategi AS menghadapi Taliban, seiring dengan menguatnya desakan agar AS melakukan pembicaraan damai dengan Taliban untuk meredam serangan-serangan Taliban yang marak terhadap pasukan koalisi AS dan terhadap pemerintahan Afghanistan yang mendapat dukungan Barat.
"Pemberontakan, seperti halnya semua perang ... akan berakhir jika ada kesepakatan," kata Wood pada surat kabar Observer edisi Minggu (22/3).
Awal bulan Maret kemarin, Presiden Obama juga mengisyaratkan pemerintahannya bersedia berdialog dengan pimpinan-pimpinan Taliban yang moderat untuk mengakhiri konflik di Afghanistan, yang sebenarnya dipicu oleh AS sendiri. Tapi Taliban menegaskan bahwa mereka menolak dialog sampai pasukan asing benar-benar angkat kaki dari bumi Afghanistan.
Pemerintahan Taliban di Afghanistan, yang ditumbangkan AS dalam agresinya ke negeri itu usai serangan 11 September 2001, posisinya di Afghanistan makin menguat. Laporan lembaga think-tank Senlis Council menyebutkan bahwa Taliban kini mendominasi lebih dari setengah wilayah Afghanistan. Tak heran jika perlawanan-perlawanan yang dilakukan Taliban terhadap pasukan asing membuat ciut nyali sejumlah negara yang berkoalisi dengan AS untuk menggelar perang di Afghanistan.
AS kemudian berencana mengubah strateginya dengan melakukan perekrutan dan pelatihan untuk memperkuat dan menambah jumlah aparat militer dan kepolisian Afghanistan.
Utusan khusus AS Richard Golbrooke mengatakan, kondisi kepolisian Afghanistan tidak terlalu bagus dan lemah dalam mengantisipasi situasi keamanan di Afghanistan.
"Itulah sebabnya, kita harus menambah jumlah polisi dan memperbaiki kualitas mereka," ujar Holbrooke.
Selain perubahan strategi di bidang keamanan, AS juga mengubah strateginya dengan lebih mengedepankan cara diplomasi dan lebih menekankan pada bantuan terhadap warga sipil. Meski pada kenyataannya, pasukan AS masih kerap melakukan serangan mendadak ke perkampungan-perkampungannya yang dihuni warga sipil dengan alasan mencari para pejuang Taliban yang bersembunyi di situ.
Perubahan strategi atau kebijakan AS tentu saja tidak lain hanyalah untuk mempertahankan hegemoninya di wilayah itu. Yaitu mempertahankan aset strategis di Asia Tengah seperti sumber energi dan infrastruktur pembangunan jalur pipa minyak. “Saya selalu merasa kita sudah melakukan hal yang tepat di Afganistan. Kerisauan saya hanyalah bahwa kita mengalihkan perhatian dari Afganistan ke Irak. Saya kira, saya akan melakukan hal yang lebih baik dalam menstabilkan negara itu ketimbang yang sudah kita lakukan, dengan memberikan bantuan kepada rakyat Afgan. Kita semua harus mendukung rakyat Afganistan dan memastikan siap membantu mereka untuk mewujudkan berbagai hal,” ungkap Obama dalam debat Senat Illionis di Jaringan Radio Illionis 12 Oktober 2004.
Hal yang sama juga dilakukan AS di Timur Tengah. Kepala Biro Politik Hamas, Khaled Misy'al mengatakan dalam wawancara dengan surat kabar La Repubblica edisi Minggu (22/3)"Presiden Obama melontarkan bahasa-bahasa baru terkait isu Timur Tengah. Inilah tantangan bagi semua pihak, bahwa ini akan menjadi awal perubahan yang sebenarnya dari kebijakan-kebijakan yang diterapkan AS dan Eropa."
(erm/hti/pro-syariah)
24 Maret 2009
Militer Menghadapi Krisis, AS Ubah Kebijakan di Afghanistan
Label:
Berita Dunia,
Keboborokan Kapitalisme,
Politik
Langganan:
Posting Komentar (Atom)





Tidak ada komentar:
Posting Komentar