20 November 2009

Privatisasi Sektor Ketenagalistrikan : Dari “Subsidi” Menuju Liberalisasi

A. Sindrom Ayam Mati Di Lumbung Padi
Indonesia adalah Negeri yang kaya raya gemah ripah loh jinawi, sumber daya alamnya berlimpah. Potensi kekayaan alam yang dimaksudkan meliputi sektor migas dan non migas. Sektor ketenagalistrikan di Indonesia tidak bisa lepas dari energi primer yang bersumber dari dua sektor tersebut. karena sebagian besar pembangkit listrik menggunakan mesin yang digerakan dengan bahan bakar minyak, gas atau batubara.Menurut data dari kementrian ESDM, pemanfaatan energi primer untuk pembangkitan tenaga listrik:
• Batubara : 37%
• Gas : 15%

• BBM : 37%
• Panas Bumi : 3%
• Hidro : 8%
Di sektor migas, sudah bukan rahasia lagi jika dikatakan bahwa Indonesia merupakan negara peringkat ketiga setelah Amerika dan negara-negara di kawasan Timur Tengah dalam hal produksi minyak bumi dan gas. Menurut data dari website BP migas, saat ini potensi minyak bumi Indonesia mencapai nilai 19.400,9 Juta Barrel yang berasal dari Kepulauan Natuna, Sumatera, Kalimantan, Jawa, Sulawesi dan Papua, sedangkan potensi batubaranya mencapai 36,6 Milyar Ton. Untuk Gas alam mencapai nilai 182,2 TSCF dengan sumber pasokan gas alam terbesar dari kepulauan Natuna.
Namun nampaknya kekayaan alam ini belum dapat memenuhi kebutuhan industri dalam negeri Indonesia, karena sebagian besar gas alam dari Indonesia, di export ke luar negeri sebagai akibat dari longgarnya regulasi export migas yang tidak berpihak kepada konsumsi dan kepentingan industri dalam negeri. Regulasi yang dimaksudkan di sini adalah UU No. 22 tahun 2001 tentang Minyak & Gas Bumi Pasal 22 ayat 1, yang berbunyi: ”Badan Usaha atau Bentuk Usaha tetap wajib menyerahkan paling banyak 25% bagiannya dari hasil produksi minyak bumi dan atau gas bumi untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.”

Hal itu yang membuat rakyat negeri ini tidak ikut menikmati keuntungan apabila terjadi kenaikan harga migas Bahkan rakyat dipaksa untuk membeli migas dengan harga internasional yang tinggi tersebut. Jadi apalah artinya disebut Negara pengekspor minyak ?
Pada sumber energi primer batubara juga berpotensi terjadi masalah di kemudian hari jika pemerintah tidak segera membuat regulasi export batubara. Saat ini, Indonesia adalah negara exportir batubara terbesar ketiga setelah Australia, Afrika atau China. Dengan adanya rencana pemerintah yang berupa crash program pembangunan PLTU batubara 10.000 MW di seluruh Indonesia, maka sudah selayaknya jika pemerintah lebih memprioritaskan pemenuhan kebutuhan dalam negeri daripada sekedar mengejar devisa negara, sehingga pengalaman buruk pada sektor migas yang sebagian besar di export keluar negeri tidak terjadi lagi pada sektor batubara.

B. Mahalnya Biaya Pokok Penyediaan Listrik
Secara umum kita bisa merasakan dan mengetahui bahwa kedudukan listrik telah disejajarkan dengan kedudukan kebutuhan sembako. Para pemimpin daerah, dikatakan berhasil membangun daerahnya jika mampu memenuhi kebutuhan listrik daerahnya, karena dari listriklah awal mula pergerakan roda perekonomian dan bisnis mulai berjalan.
Dari sinilah dapat dikatakan bahwa yang paling bertanggung jawab terhadap kelangsungan hidup perusahaanpengelola listrik negara adalah pemerintah dan PT PLN (Persero) selaku BUMN yang mengelola sektor kelistrikan. Saat ini sedang dilakukan berbagai upaya untuk memenuhi permintaan masyarakat dalam mendapatkan listrik yang berkualitas dengan harga yang wajar. Optimisme PT PLN (Persero) dalam bekerja untuk bangsa mendapatkan halangan yang besar. Beberapa masalah yang menyulitkan banyak bermunculan diantaranya kelangkaan pasokan gas di dalam negeri, kenaikan harga BBM, serta keberadaan listrik swasta. Kelangkaan pasokan gas dan harga BBM sangat berpengaruh karena komposisi biaya PT. PLN paling banyak pada pembelian BBM.
Biaya Pokok Penyediaan (BPP) listrik sebenarnya bervariasi, bergantung pada kondisi pembangkitnya dan jenis penggunaannya. Bila dilihat dari jenis pembangkitnya maka PLTA adalah yang termurah (contoh PLTA Bakaru di Sulsel BPP Rp. 38,9 /Kwh). Kemudian disusul PLTGU (± Rp. 190/Kwh), PLTU (±Rp.292~520 /Kwh) dan PLTD ( ±Rp. 761 /Kwh). Dari jenis penggunaannya, BPP listrik bisa dilihat di lampiran-1.
UU No 22 tahun 2001 tentang Migas terutama pasal 22 di atas telah menyebabkan kelangkaan gas karena gas dalam negeri oleh perusahaan gas asing sesuai dengan UU itu lebih banyak diekspor. Akibatnya, di dalam negeri kekurangan pasokan gas, termasuk untuk PLN. Di seluruh Indonesia terdapat pembangkit dual firing yang berkapasitas 7500 MW. Dengan asumsi harga gas sebesar USD 5,5/MMBTU, maka biaya produksi sekitar Rp 7 triliun. Tapi akibat kelangkaan gas karena dijual ke luar negeri tadi, maka terpaksa pembangkit itudioperasikan dengan BBM yang biasa produksinya mencapa Rp 32 triliun per tahun. Bila UU Migas direvisi, danPLN bisa mendapatkan cukup gas, maka didapat efisiensi sebesar Rp 25 triliun!!


C. Subsidi Untuk Siapa ?
Pada tahun 2009, pemerintah menganggarkan subsidi untuk listrik sebesar Rp. 38,59 Trilyun dengan asumsi harga minyak 40 USD. Namun, apakah benar bahwa subsidi dari pemerintah yang diambil dari RAPBN (yang nota bene adalah duit rakyat) tersebut digunakan untuk menutupi biaya produksi listrik dari PLN ?
Dari data kementrian ESDM pada bulan Agustus 2008 bahwa total kapasitas daya terpasang saat itu adalah 29.765 MW yang terdiri dari :
• Pembangkit PLN : 24.925 MW (83,74%)
• Pembangkit Swasta (IPP) : 4.044 MW (13,59%)
• Pembangkit Terintegrasi (PPU) : 796 MW ( 2,67%)
Telah disebutkan bahwa beban biaya kedua setelah BBM untuk pengusahaan listrik oleh PLN adalah biaya pembelian listrik swasta. Untuk diketahui, struktur biaya produksi listrik terdiri dari 4 komponen yaitu :
• Komponen A (pengembalian biaya investasi sesuai kapasitas daya mampu dan kesiapan unit pembangkit).
• Komponen B (pembayaran biaya pemeliharaan & fixed cost lainnya yang dihitung berdasarkan kesiapan operasi unit pembangkit).
• Komponen energi atau komponen C (biaya penggantian bahan bakar).
• Komponen D (biaya kimia & air
Selama ini PT PLN (Persero) menerapkan perlakuan yang berbeda antara kepada anak Perusahaan dan kepada produsen listrik swasta. Kepada anak perusahaan (PT PJB dan PT Indonesia Power), PT PLN (Persero) hanya membayarkan biaya komponen B,C dan D. Untuk komponen A tidak dibayarkan, karena dijadikan piutang anak perusahaan kepada induknya dan rencananya akan dialokasikan untuk investasi unit embangkit baru sebagai sarana pengembangan bisnis anak perusahaan.
Sedangkan kepada produsen listrik swasta, PT PLN (Persero) memberikan pembayaran penuh (100%) sesuai dengan realisasi harga jualnya. Perlakuan tersebut pada akibatnya sangat merugikan anak perusahaan karena kesulitan untuk berinvestasi dan mengembangkan perusahaan. Berikut adalah contoh realisasi transaksi energi, sebagai perbandingan antara perlakuan bisnis terhadap anak perusahaan dan terhadap produsen listrik swasta:











Dari tabel di atas, nampak bahwa harga jual PT PJB kepada PT PLN (Persero) selaku single buyer jauh lebih murah daripada harga jual produsen listrik swasta kepada PT PLN (Persero). Pada produsen listrik swasta harga jual total akan dibayarkan 100%, sedangkan bagi anak perusahaan seperti PT PJB atau PT Indonesia Power, dari total harga sebesar Rp. 292,37/KWh hanya akan dibayarkan sebagian saja, yakni sebesar Rp. 195,94/KWh. Harga listrik anak perusahaan yang relatif sangat murah tersebut setelah dikelola dengan baik anak perusahaan masih mendapatkan keuntungan yang dapat mendukung existensi PT PLN (Persero). Berikut ini adalah simulasi rekening listrik untuk kategori R1-1300 VA (rumah tangga):











Dari simulasi rekening listrik tersebut, nampak bahwa harga jual energi dari PLTU Paiton milik PT PJB masih dibawah harga jual energi dari PT PLN (Persero) kepada masyarakat. Sebaliknya, harga jual energi dari PLTU Paiton swasta masih lebih mahal jika dibandingkan dengan harga jual energi dari PT PLN (Persero) kepada masyarakat untuk blok III yang merupakan tarif termahalpun. Hal itu artinya PT PLN (Persero) harus rugi secara konyol karena harus membeli listrik dari swasta dengan harga mahal dan harus menjual kepada masyarakat dengan harga yang murah karena dibatasi oleh Tarif Dasar Listrik (TDL) yang ditetapkan pemerintah.
Pembelian listrik dari PT Paiton Energy Company (PEC) selaku produsen listrik swasta sebesar Rp. 4,82 T, sedangkan pembelian listrik dari Anak Perusahaan PT PLN (PT PJB), hanya sekitar Rp. 1,1 Triliun, sehingga dapat dikatakan bahwa PT PLN (Persero) harus mensubsidi sekitar Rp. 3,72 T/tahun kepada PT Paiton Energy Company (PT PEC).
Pada saat pemerintah RI sedang kesulitan untuk memberikan subsidi pada sektor ketenagalistrikan, ternyata masih ada potensi pemborosan uang Negara berupa pemberian ”subsidi” kepada produsen listrik swasta yang telah mengeruk banyak keuntungan dari penjualan energi listrik kepada PT PLN (Persero) yang lebih mahal jika dibandingkan dengan harga penjualan energi listrik dari PT PLN (Persero) kepada masyarakat.
Disamping memberikan “subsidi” kepada produsen listrik swasta, PT PLN (Persero) juga dipaksa untuk membeli listrik dari swasta tersebut dengan system Take or Pay Contract., Take or pay contract yang dalam perjanjian kontrak jual beli tenaga listrik ini, memuat klausul yang hanya menguntungkan penjual (unit pembangkit).
Klausul kontrak take or pay berlaku untuk listrik swasta, dimana PT PLN (Persero) selaku single buyer memiliki kewajiban untuk membeli (men-dispact) listrik swasta minimal 85% dari total daya mampu nettonya. Hal ini berarti bahwa sekalipun sistem interkoneksi Jawa Bali tidak membutuhkan supply energi listrik dari swasta (dalam hal ini unit pembangkit swasta siap beroperasi namun diinstruksikan shutdown oleh single buyer), maka PT PLN (Persero) tetap harus membayar minimal 85% dari total daya mampu nettonya. Hal ini jelas sangat merugikan Negara, karena Negara tetap harus melakukan pembayaran kepada produsen listrik swasta,sekalipun unit pembangkit tersebut tidak menghasilkan energi listrik untuk memenuhi kebutuhan rakyat.
Mengapa produsen listrik swasta tersebut begitu “digdaya” ? Hal itu karena faktor KKN pada jaman rezim Soeharto. Pada awal 1990-an, Bank Dunia merekomendasikan pemerintah Indonesia untuk melibatkan swasta pada sisi pembangkit tenaga listrik. Rekomendasi ini mendorong keluarnya Keputusan Presiden No. 37 tahun 1992 mengenai Usaha Penyediaan Listrik oleh Swasta. Keppres ini menjadi dukungan bagi munculnya model Independent Power Producer (IPP) atau listrik swasta. Sejumlah IPP yang berasal dari luar negeri kemudian berbondong-bondong bermitra dengan keluarga dekat Soeharto.Krisis ekonomi membawa keberuntungan karena sebagian besar kontrak-kontrak tersebut dibatalkan, sehingga PLN tidak perlu membeli seluruh listrik swasta tersebut. Tetapi kontrak dengan PT Paiton Energy Company(PEC), yang memiliki pembangkit listrik Paiton I,tampaknya tidak dibatalkan. Sebagai akibatnya sejak tahun 1999-2000, PLN harus membayar biaya pembelian listrik dari Paiton I walaupun tidak dipakai sema sekali. Pembayaran PLN terhadap Paiton I pada tahun 1999 sebesar Rp. 5,082 triliun dan pada tahun 2000 sebesar Rp. 9,39 triliun. Pada waktu yang sama, PLN mengalami kerugian sebesar Rp. 5,5 dan Rp. 4,6 triliun. Seharusnya jika PLN tidak membayar listrik swasta, maka pada tahun 2000, PLN berpotensi mendapatkan keuntungan sebesar Rp. 5 triliun.
Dengan demikian menjadi sangat jelas bahwa kehadiran listrik swasta justru menimbulkan beban finansial bagi PLN. Akibatnya PLN tidak dapat mengalokasikan dananya untuk membangun pembangkit listrik baru atau menambah jaringan.


D. Liberalisasi Yang Dilegalkan
Pada tahun 2002 pemerintah mengeluarkan UU No. 20/ 2002 Tentang Ketenagalistrikan. UU tersebut menggantikan UU yang berlaku sebelumnya yaitu UU No. 15/ 1985. Inti dari UU No. 20/ 2002 adalah privatisasi (liberalisasi) usaha di sektor ketenagalistrikan. Tetapi kemudian pada bulan Desember 2004, Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya membatalkan UU tersebut karena dianggap bertentangan dengan konstitusi (UUD 1945 pasal 33). Namun demikian, pemerintah bersikeras dengan idenya tersebut. Pada tahun 2006 pemerintah mengeluarkan Rancangan Undang-Undang tentang Ketenagalistrikan yang baru (RUUK 2006). Menurut Sekjen Federasi SP BUMN Strategis Ahmad Daryoko, pihaknya telah mempelajari isi rancangan Undang-Undang tersebut. Dan menurutnya isi dari RUU tersebut sama destruktifnya dengan substansi UU No. 20 tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan yang beberapa waktu lalu telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi(MK). RUU tersebut saat ini sudah masuk tahapan Panja Komisi VII, dan rencananya akan disahkan pada bulan Juli 2009.
Untuk diketahui, PLN sekarang ini sesungguhnya terbentuk dari nasionalisasi terhadap sejumlah perusahaan listrik asing sepeti OGEM, ANIEM, GEBEO dan lain-lain yang di masa Soekarno dalam kondisi unbundling (terpecah-pecah) kemudian disatukan (bundling) ke dalam perusahaan listrik dan gas negara (PLGN). Bundling (penyatuan) sejumlah perusahaan listrik swasta waktu itu dilakukan agar penyediaan listrik bisa lebih efisien dan mencegah agar listrik tidak hanya dinikmati oleh orang kaya saja.Tapi posisi bundling dari PLN itu tampaknya akan segera berakhir. Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) Luar Biasa PLN pada 8 Januari tahun lalu telah memutuskan akan merestrukturisasi PLN berupa pembentukan 5 anak perusahaan distribusi (Distribusi Jakarta Raya, Distribusi Jawa Barat, Distribusi Jawa Tengah, Distribusi Jawa Timur dan Distribusi Bali) serta satu anak perusahaan Transmisi dan Pusat Pengatur Beban Jawa Bali. Juga ditetapkan akan dibentuk 2 BUMN Pembangkitan, yakni PT Indonesia Power dan PT Pembangkitan Jawa Bali (PJB).
Keputusan inilah yang disebut merupakan realisasi dari rencana unbundling baik secara vertikal (fungsional) maupun horizontal (kewilayahan) seperti disebut dalam UU No 20/2002 yang telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. Pemecahan vertikal dilakukan melalui pembentukan perusahaan pembangkitan, transmisi dan distribusi secara terpisah. Tidak lagi menyatu di bawah PLN seperti yang selama ini berjalan. Sementara pemecahan horizontal dilakukan melalui pembentukan perusahaan distribusi berdasarkan wilayah. Unbundling merupakan satu tahapan menuju profitisasi dan privatisasi serta divestasi sebagaimana disebut dalam roadmap Buku Putih Departemen Pertambangan dan Energi (1998).
Setelah ditelusuri, ternyata rencana unbundling ini merupakan bagian dari kesepakatan pemerintah Indonesia dengan IMF sebagaimana tertera pada poin 20 Letter of Intent (LOI) yang ditandatangani Presiden Soeharto pada Januari 1998. Poin ini kemudian ditegaskan lagi dalam Buku Putih Departemen Pertambangan dan Energi. Dalam buku putih itu, disebutkan bahwa liberalisasi sektor ketenagalistrikan dilakukan melalui tahapan unbundling, profitisasi dan privatisasi. Dapat dipastikan bahwa undbundling saat ini akan sampai pada tahapdivestasi/penjualan aset negara karena memang itulah yang diminta oleh negara donor terkait pengembalian utang negara.

* Aktivis HTI Cilacap
unduh file lengkapnya di sini




Bookmark and Share

Tidak ada komentar:

Related Posts with Thumbnails