Munculnya fatwa golput haram menjelang pemilu 2009 mengundang berbagai analisis. Sangat beralasan jika ada yang memandang “golput haram” sangat bernuansa politis, karena terkait hajatan pemilu Juni 2009, demikian paparan KH. Akhmad Kamal Ismail (penasehat MUI Purbalingga) salah seorang pembicara dalam Diskusi Publik yang digelar HTI Purbalingga hari Ahad tanggal 1 Maret 2009 bertempat di Gedung Haji.
Dalam diskusi publik yang bertemakan “Golput Haram-Demi Status Quo atau Kemaslahatan Umat ?” ini, selain pembicara dari MUI Purbalingga, hadir pembicara lain yaitu pengamat sosial politik Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto Ahmad Sabiq, SIP dan Ust. Amin RH (Ketua DPD II HTI Purbalingga). Diskusi ini dihadiri oleh sejumlah tokoh masyarakat, takmir masjid, perwakilan Nasyiatul Aisyah, beberapa caleg parpol islam dan perwakilan panwaslu.
Dalam presentasinya, Ahmad Sabiq, SIP menilai bahwa golput di Indonesia belum terlalu mengkhwatirkan, dibandingkan dengan negara-negara lain. “partisipasi masyarakat di Indonesia dalam pemilu masih tinggi jika dibandingkan dengan negara-negara lain, karenanya fatwa haram golput terlalu berlebihan. Apalagi dalam UU Pemilu sendiri memilih adalah hak bukan kewajiban. Namun, MUI sebagai institusi ulama sah-sah saja mengeluarkan fatwa, hanya fatwa tersebut tetap tidak bisa memaksa orang wajib memilih”.
Pendapat berbeda disampaikan oleh Ust. Amin RH, beliau mengatakan ”jika kasus golput tersebut terjadi karena kesalahan penyelenggara negara (eksekutif, legislatif dan yudikatif) akibat diterapkannya sistem sekulerisme, dan masyarakat sadar bahwa dampak diterapkannya sistem tersebut ternyata buruk bagi kehidupan mereka, sehingga mereka menjadi apatis, maka MUI seharusnya memfatwakan para penyelenggara negara haramnya menerapkan sekulerisme. Apalagi, telah ditetapkan melalui fatwa MUI sebelumnya (melalui munas MUI ke-VII di Jakarta tanggal 26-29 Juli 2005) bahwa Sekularisme hukumnya haram”.
Amin RH juga mempertanyakan perubahan sejauh mana yang mungkin bisa dilakukan melalui pemilu. ”Sejak mulai reformasi hingga 2004 sudah tiga kali pemilu digelar, belum pilkadanya, namun apa hasilnya, rakyat miskin makin bertambah, korupsi makin meraja lela, cengkraman asing makin kuat. Ini membuktikan Indonesia tidak hanya butuh pergantian pimpinan (pemilu), tapi juga perubahan sistem; dari demokrasi sekuler menuju syariah. Pertanyaannya, apakah pemilu bisa menghadirkan perubahan sistem ? Melihat perundang-undangan di negeri ini, proses pemilu tidak didesain untuk perubahan mendasar (sistem) tersebut. Padahal sumber masalahnya ada pada sistem demokrasi yang rusak itu, di samping kepemimpinan yang tidak amanah...”, pungkasnya.
Tepat pukul 12.00 WIB diskusi ditutup dg doa oleh KH. Akhmad Kamal Ismail. Alhamdullilah.....
Demikian dilaporkan Humas HTI Purbalingga kepada Pro Syariah.
04 Maret 2009
HTI Purbalingga : Mengapa Menerapkan Sekulerisme Tidak Diharamkan ?
Label:
Berita Daerah,
Kegiatan Dakwah,
Politik
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar